DALAM HUKUM QISHASH TERDAPAT KEMASLAHATAN KEHIDUPAN
DALAM HUKUM QISHASH TERDAPAT KEMASLAHATAN KEHIDUPAN
BAB I
PENDAHULUAN
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dari yang terkecil
hingga paling besar, dari paling sederhana hingga paling rumit, bahkan dari
manusia bagun tidur sampai tidur lagi. Salah satunya di dalam Islam kita harus
berhukum dengan hukum yang telah ditetapkan Islam.
Hukuman adalah
sebuah cara untuk menjadikan seorang yang melakukan pelanggaran berhenti dan
tidak lagi mengulanginya. Selain itu juga menjadi pelajaran kepada orang lain
untuk tidak mencoba-coba melakukan pelanggaran itu. Setiap agama maupun negara
pasti memiliki bentuk hukum dan jenis hukuman tersendiri. Dan masing-masing
bisa berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan. Dan salah satu bentuk
hukuman yang diperintahkan oleh Allah yang harus dilaksanakan oleh ummat Islam
adalah hukum qishash. Hukum ini
pada esensinya memberikan hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada
yang merugikannya dengan kadar yang seimbang.
Pemberlakuan
hukuman qishash adalah
sesuatu yang selalu mengundang kontroversi. Terutama jika dianggap bahwa
hukum qishash itu sama
dengan hukuman mati. Perdebatan panjang mengenai pemberlakuan pidana mati ini
sebenarnya bertitik tolak pada permasalahan keadilan rasa kemanusiaan dan
pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya kejahatan lagi. Alasan para pakar
yang menentang adanya penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana
pembunuhan adalah karena alasan kemanusiaan dan penjatuhan pidana mati tidak
akan dapat mencegah kejahatan dan mengurangi angka kejahatan. Namun bagi mereka
yang sepakat dengan pemberlakuan pidana mati di Indonesia adalah semata-mata
karena rasa keadilan dan ketentraman yang ada di dalam masyarakat. Masyaraakat
menginginkan keadilan, dimana bagi seorang pembunuh sepantasnnya di bunuh pula.
Ini terbukti dengan adanya statmen di kalangan masyarakat yang mengatakan
‘Hutang budi dibayar budi dan hutang nyawa dibayar nyawa‘.
Hanif Alfarisi
BAB II
PEMBAHASAN
يآئَيُّهَاالَّذِيْنَ أمَنُوْا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ القِصَاصُ فِي الْقَتْلي الحُرُّ بِالحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ
وَالْأُنْثَي بِاللأُنْثَي فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ
بِالْمَعْرُوْفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِاءِحْسَانٍ ذَالِكَ تَخْفِيْفٌ مِنْ
رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدي بَعْدَ ذَالِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
{178}
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.”
(Al-Baqarah:178)
A.
Makna Ayat
كتب : Al Faro berkata : كتب عليكم arti
di dalam al qur’an adalah
diwajibkan bagi kalian.
Umar
bin Abi robi’ah berkata : كتب عليكم القصاص yang
artinya telah diwajibkan dan telah di tetapkan.
القصاص : Melakukan seperti apa yang talah di perbuat
pelaku
القتلي : Jama’ dari قتيل ( yang di bunuh ) laki laki maupun
prempuan.
عفي :
al ‘afwaa artinya adalah ashofhu ( pemaafan ), dan pengguguran, yaitu saya telah memaafkan. Seperti firman
Allah subhanahu wa ta’aala ( al maidah : 95 ) Allah talah
memaafkan yang telah lalu.
فاتباع
بالمعروف : Mengikuti dengan baik, yaitu wali dari
fulan yang di bunuh meminta
dengan baik, meminta pembunuh untuk membayar diyat dengan cara yang baik, tanpa ada
keburukan dalam pelaksanaanya ( diyat ) .
فمن
اعتدي :
Yaitu kedzoliman yang dilakukan oleh wali yang di bunuh setelah mengambil
diyat kemudian ia membunuh yang membunuh maka sang wali akan mendapatkan adzab disisi Allah yang
sangat pedih (Ibnu
Abbas, Mujahid, ‘Atho’, Ikrimah, Hasan, Qotadah, Robie’ bin Anas)
B.
Makna Global
Allah memerintahkan kepada kita untuk diwajibkan atas kalian untuk qishash
bagi siapa yang membunuh dengan sengaja, dengan catatan jangan berlebihan
diantara sebagian dari kalian, maka apabila yang dibunuh orang yang merdeka
maka membalasnya kepada orang yang merdeka, dan jika budak maka dengan budak,
jika wanita maka dengan wanita, dengan adil dalam melakukan qishash dan
tinggalkanlah kedzoliman yaitu membunuh budak dibalas dengan orang merdeka,
laki dengan wanita, dan barang siapa yang meninggalkan qishash maka
menuju ke diyat, dan hendaknya wali dari yang di bunuh memaafkan pembunuh dan
mengambil atau meminta diyat dengan cara yang baik tanpa dengan cara yang
kasar, dan pembunuh juga hendaknya memberikan diyat yang telah di tentukan
dengan cara yang baik pula tanpa manunda nunda dalam pembayaran diyat, itulah
yang telah Allah subhanahu wa ta’aala syari’atkan kepada kita orang
orang yang beriman, memaafkan dan mengambil diyat, itulah keringanan dan kasih sayang yang Allah berikan kepada
hambanya di bandingkan dengan kaum yahudi, maka barang siapa yang telah memilih
diyat akantapi ia malah membunuh seorang pembunuh tersebut, maka ia akan
mendapatkan adzab yang sangat pedih di sisi Allah azza wa jalla, karena
telah melanggar perjanjian yang telah di disepakati antara wali dengan pembunuh
yang telah di berikan keamanan setelah mendapatkan diyat dari pembunuh.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa qishash ialah akibat yang sama yang dikenakan
pada seseorang yang menghilangkan nyawa atau melukai atau menghilangkan anggota
badan orang lain seperti apa yang telah diperbuatnya. Maka dapat dikatakan
bahwa hukuman qishash itu
ada dua macam yatiu qishash jiwa
yakni hukuman bunuh untuk tingkat pembunuhan dan hukuman qishash untuk anggota badan yakni khusus untuk
anggota badan yang terpotong atau dilukai.
Maka dapat
dikatakan bahwa hukuman qishash itu
adalah hukuman yang menseimbangkan antara perbuatan dan pembelaan sehingga
dapat menjamin keselamatan jiwa dan kesempurnaan anggota badan manusia, ini
menunjukkann bahwa hukuman itu sendiri mempunyai sifat keadilan dan
kesempurnaan karena telah memberi keseimbangan pada setiap pelaku, bila
membunuh ia dibunuh, bila melukai maka juga dilukai, sehingga semua orang
merasa puas dengan ketentuan qishash tersebut.
C.
Asbabun Nuzul
Mengenai Asbabun nuzul ayat ini, menurut imam abu Muhammad
ibnu Abu Hatim disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu bukair, telah menceritakan
kepadaku Abdullah ibnu Luhai’ah, telah menceritakan kepadaku Ata’ ibnu Dinar,
dari Sa’id ibnu Jubair, sehubungan dengan ayat
:
يآئَيُّهَا الَّذِيْنَ
أَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي اْلقَتْلَي
“Hai orang orang yang beriman, di wajibkan
atas kalian qishash berkenaan dengan orang orang yang di
bunuh”
Yakni jika kasus pembunuhan terjadi dengan sengaja,
maka ketentuan hukumannya adalah orang merdeka dengan orang merdeka. Demikian
itu karena ada dua kabilah dari kalangan orang orang arab saling berperang pada
zaman jahiliyah yang mendekati zaman islam dalam jangka yang tidak begitu lama.
Dahulu diantara mereka terajadi pembunuhan,
yang terbunuh termasuk budak budak dan kaum wanita. Maka sebagian mereka belum
sempat menuntut sebagian yang lain hingga mereka masuk islam semuanya.
Mereka bersumpah bahwa mereka tidak rela
sebelum orang merdeka dari kalangan musuhnya dibunuh karena membunuh budak dari
kalangan mereka, dan seorang laki dari kalangan musuh dibunuh karena telah
membunuh seorang wanita dari kalangan mereka. Maka turunlah
ayat ini :
الحرُّبالحرِّ
وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَي باِلْأُنْثَي
“Orang merdeka dengan orang merdeka, budak
dengan budak, dan wanita dengan wanita”.
Sebagian dari kandungan ayat ini ada yang di-mansukh
dengan ayat yang menyatakan, “jiwa dengan jiwa”.
Ali bin Abi Tholhah meriwayatkan dari ibnu abbas
sehubungan dengan firman Allah subhanahu wa ta’aala:
والأنثي
بالأنثي
“ Wanita di hukum mati karena membunuh wanita”
Firman Allah subhanahu wa ta’aala:
اْلنَفْسُ باِلنَفْسِ
وَالْعَيْنَ باِلْعَيْنِ
“ Jiwa dibalas dengan jiwa dan mata di balas
dengan mata” (Al maidah : 45).
Akan tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat dengan mereka, mereka
mengatakan bahwa orang yang merdeka tidak di hukum mati karena membunuh budak,
karena budak sama dengan halnya barang dagangan, sekiranya seorang budak
dibunuh secara keliru atau tidak sengaja, maka tidak wajib diyat dalam
kasusnya, melainkan yang wajib hanyakah membayar diyat seperti harga budak
tersebut.
Demikian itu membuat mereka tidak tidak
menghukum mati laki laki karena membunuh wanita.
D.
Klasifikasi Pembunuhan
Menurut mayoritas ulama Pembunuhan terbagi tiga :
Pertama, pembunuhan
dengan sengaja (qotlul ‘amdi), Yang dimaksud pembunuhan Sengaja ialah seorang
mukallaf secara sengaja membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak
bersalah), dengan menggunakan senjata yang lazimnya bisa membunuh.
Kedua, pembunuhan
semi sengaja, Adapun yang dimakasud syibhul ’amdi (pembunuhan yang mirip dengan
sengaja) ialah pemukulan secara semena-mena dan tanpa alasan yang benar dengan
menggunakan alat yang secara umum tidak mematikan, misalnya tongkat kecil dan
cambuk, namun ternyata manyebabkan kematian korban padahal si pelaku tidak
bermaksud membunuhnya, melainkan hanya memberi pelajaran dan sejenisnya.
Ketiga, pembunuhan karena keliru (qotlul khoto’), Sedangkan yang dimaksud
pembunuhan karena keliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah
baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak
panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.
Namun Mazhab Hanafi membagi pembunuhan menjadi 5 yaitu : qotlul
‘amdi (pembunuhan sengaja), syibhul ‘amdi (seperti sengaja), khotho’ (keliru
atau tidak sengaja), ma ajro majri al-khotho’ (seperti pembunuhan keliru), dan
tasabbub (tidak langsung namun menjadi penyebab). Sedangkan menurut Mazhab
Maliki pembunuhan hanya ada dua; amdi dan khotho’.
Kadar Diyat
Jika penerima diyat adalah orang merdeka
yang muslim, maka diyatnya adalah
sebagai berikut :
•
100 unta
•
Atau 1.000 emas
•
Atau 12.000 dirham perak
•
Atau 200 sapi
•
Atau 2.000 kambing
Jika pembunuhannya
adalah semi sengaja maka diyatnya diperberat dengan 100 unta dan 40 ekor
diantaranya harus unta yang mengandung,dan jika pembunuhannya ndak sengaja maka
tidak diperberat
Berdasarkan sabda
Rasulullah : “Ketahuilah, sungguh pembunuhan semi sengaja dengan cambuk,
tongkat dan batu, maka diyatnya diperberat yaitu 100 unta dan 40 ekor
(mengandung)”.
Jika pembunuhannya
dengan sengaja, maka besarnya diyat ditentukan dengan kerelaan keluarga korban,
maka mereka berhak meminta diyat lebih banyak dari jumlah (yang ditentukan syara’), karena
mereka mempunyai hak meminta qishas dan
mereka juga berhak meminta diyat kurang
dari jumlah tersebut.
Syarat Kewajiban Qisas
Secara
umum, wali (keluarga) korban berhak menuntut qishash, apabila telah
syarat-syarat berikut ini telah terpenuhi:
Pertama,
Jinayat (kejahatan)nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijma’ para ulama,
sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Para ulama ber-ijma’
bahwa qishash tidak wajib, kecuali pada pembunuhan yang disengaja, dan tidaklah
diketahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam kewajibannya
(sebagai hukuman pada) pembunuhan dengan sengaja, apabila terpenuhi
syarat-syaratnya.”
Kedua,
Korban termasuk orang yang terlindungi darahnya (‘ishmat al-maqtul) dan
bukan orang yang dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan
pezina yang telah menikah. Hal ini karena qihsahs disyariatkan
untuk menjaga dan melindungi jiwa.
Ketiga,
Pembunuh atau pelaku kejahatan adalah seseorang yang mukalaf, yaitu
berakal dan baligh. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan,
“Tidak ada silang pendapat di antara para ulama bahwa tidak ada qishash terhadap
anak kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab
uzur, seperti tidur dan pingsan.”
Keempat, At-takafu’ (kesetaraan)
antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi tindak kejahatan dalam sisi agama,
merdeka, dan budak. Sehingga, seorang muslim tidak di-qishash dengan
sebab membunuh orang kafir, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“Tidaklah seorang muslim dibunuh (di-qisas) dengan sebab
membunuh orang kafir.”
Kelima,
Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan), dengan ketentuan korban yang dibunuh
adalah anak pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
لاَ يُقْتَلُ الوَالِدُ بِوَلَدِهِ
“Orangtua tidak di qishash dengan sebab (membunuh) anaknya.”
Syekh As-Sa’di rahimahullah
ketika menjelaskan syarat diwajibkannya qishash menyatakan, “Pembunuh bukan
orangtua korban, karena orangtua tidak dibunuh dengan sebab membunuh anaknya”. Sedangkan
bila anak membunuh orangtuanya, maka si anak tetap terkena keumuman kewajiban qishash.
Syarat Pelaksanaan Qisas
Apabila
syarat-syarat kewajiban qishash terpenuhi seluruhnya, maka
syarat-syarat pelaksanaannya masih perlu dipenuhi. Syarat-syarat tersebut
adalah:
Pertama,
semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qishash adalah mukalaf.
Apabila yang berhak menuntut qihsash atau sebagiannya adalah
anak kecil atau gila, maka hak penuntutan qishash tidak bisa
diwakilkan oleh walinya, sebab pada qishash terdapat tujuan
memuaskan (keluarga korban) dan pembalasan. Dengan demikian, pelaksanaan qishash
wajib ditangguhkan, dengan memenjarakan pelaku pembunuhan hingga anak kecil
tersebut menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar.
Hal
ini dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram
dalam qishash, hingga anak korban menjadi baligh. Hal
in dilakukan di zaman para sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya, sehingga
seakan-akan menjadi ijma’ di masa beliau.
Apabila
anak kecil atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali
orang gila saja yang boleh memberi pengampunan qishash dengan
meminta diyat, karena orang gila tidak jelas kapan sembuhnya,
berbeda dengan anak kecil.
Kedua, kesepakatan
para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qishash dalam
pelaksanaannya. Apabila sebagian mereka walaupun hanya seorang- memaafkan si
pembunuh dari qisash, maka gugurlah qisash tersebut.
Ketiga,
aman dalam pelaksanaannya dari melampaui batas kepada selain pelaku
pembunuhan, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً
فَلاَ يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً
“Dan barangsiapa yang dibunuh
secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli
warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. al-Isra`:
33).
Apabila qihsash menyebabkan
sikap melampaui batas, maka hal tersebut terlarang, sebagaimana dijelaskan
dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila wanita hamil akan di-qishash, maka
ia tidaklah di-qishash hingga ia melahirkan anaknya, karena
membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan menyebabkan kematian
janinnya. Padahal janin tersebut belum berdosa. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan seseorang tidak akan
memikul dosa orang lain.” (Qs. al-An’am: 164).
E.
Hal-Hal Yang Menggugurkan Qishash
Pertama, Kematian pelaku pembunuhan
Jika pelaku pembunuhan meninggal sebelum diqishas, maka gugurlah
qishas atas dirinya. Baik kematian itu dengan sendirinya maupun dibunuh dengan
alasan yang dibenarkan, misalnya hukum had. Akan tetapi dia masih berkewajiban
membayar diyat yang diambilkan dari harta peninggalannya. Namun jika pelaku
dibunuh secara sengaja dan semena-mena, maka gugurlah hukum qishash dan
kewajiban membayar diyat. sementara qishash dikenakan kepada pelaku. kedua, dan
hak qishas tetap dipegang oleh wali korban pertama.
Kedua, Pemberian maaf ahli waris (wali) korban.
Jika ahli waris (wali) korban memaafkan si pembunuh, maka,
berdasarkan kesepakatan para ulama, gugurlah hukum qishash. Karena ahli waris
mempunyai dua hak atas orang yang membunuh saudaranya yaitu diyat atau qishash.
Sebagaimana sabda Rasulullah : “Barang siapa yang angota keluarganya
menjadi korban pembunuhan, maka ia memiliki dua pilihan : diyat atau qishash.” [HR.
Bukhari dan Muslim:1355]
Inilah perbedaan syariat yang berlaku pada kaum muslimin dengan Bani Israil. Ibnu Abbas menceritakan : Qishash diwajibkan atas bani israil, namun tidak berlaku ketentuan diyat (denda). Oleh karena itu Allah menurunkan ayat : “Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya” (maaf berarti menerima diyat dalam kasus pembunuhan dengan sengaja) hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.” Ia harus mengikuti cara yang baik dan melakukan pembayaran diyat dengan cara yang baik pula. “Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat” dari ketetapan yang berlaku pada umat sebelum kalian. “Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah : 178). Dalam artian ia membunuh si pelaku pembunuhan setelah menerima diyat yang dibayarkan. [HR. Al-Bukhari 4498]
Jika wali korban lebih dari satu. Sebagian wali korban menuntut qishash sedangkan yang lainnya memaafkan maka gugurlah hukum qishash dan pembunuh hanya diwajibkan membayar diyat.
Inilah perbedaan syariat yang berlaku pada kaum muslimin dengan Bani Israil. Ibnu Abbas menceritakan : Qishash diwajibkan atas bani israil, namun tidak berlaku ketentuan diyat (denda). Oleh karena itu Allah menurunkan ayat : “Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya” (maaf berarti menerima diyat dalam kasus pembunuhan dengan sengaja) hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.” Ia harus mengikuti cara yang baik dan melakukan pembayaran diyat dengan cara yang baik pula. “Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat” dari ketetapan yang berlaku pada umat sebelum kalian. “Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah : 178). Dalam artian ia membunuh si pelaku pembunuhan setelah menerima diyat yang dibayarkan. [HR. Al-Bukhari 4498]
Jika wali korban lebih dari satu. Sebagian wali korban menuntut qishash sedangkan yang lainnya memaafkan maka gugurlah hukum qishash dan pembunuh hanya diwajibkan membayar diyat.
Ketiga, Perdamaian atas qishash
Para ahli fiqih sepakat atas bolehnya kesepakatan damai antara
pelaku pembunuhan dengan ahli waris (wali) korban. Kemudian si pelaku membayar
kompensasi yang telah disepakati oleh keduanya. Dan itu tidak dibebankan atas Aqilah
(keluarga pelaku), melainkan atas pelaku sendiri. Besar kompensasi tergantung
kesepakatan antara wali korban dan si pelaku. Boleh dibayar kontan atau
berangsur. Karena perdamaian berstatus ganti rugi.
F.
Yang Berhak Menuntut Qishash
Orang yang berhak menuntut qishash adalah semua ahli waris, baik
dari ashabah atau ashhabul furudh, baik laki-laki maupun perempuan. Ini
pendapat madzhab Hanafi, Syafi’i dan juga Hambali. Sedangkan menurut madzhab
Maliki yang berhak terhadap qishash adalah ahli waris dari ashabah yang
laki-laki saja. Maka anak, saudara perempuan, istri dan suami tidak berhak
dalam qishash.
G.
Hukum-Hukum yang terkait dengan Qishas
Hukum pertama : apakah orang
yang merdeka boleh dibunuh oleh hamba sahaya, dan muslim dibunuh oleh kafir
dzimmi?
Hanafiyah berpendapat : bahwa orang yang merdeka boleh dibunuh oleh
hamba sahaya, begitupun dengan seorang muslim boleh dibunuh oleh seorang kafir
dzimmi.
Jumhur ulama’ berpendapat : bahwa orang yang merdeka tidak boleh
dibunuh oleh hamba sahaya, begitupun orng muslim tidak boleh dibunuh oleh orang
kafir dzimmi.
Pendapat yang paling kuat insya allah menu-rut jumhur ulama’,
terlebih lagi pendapat tersebut
dikuatkan dengan sabda nabi Shala-llahu ‘alaihi wasallam : “seorang muslim
tidak diperbolehkan dibunuh oleh seorang kafir.” (HR. Bukhori)
Hukum kedua : apakah seorang
ayah dibunuh lantaran membunuh anaknya?
Imam Malik berkata
: dibunuhnya (seorang Ayah) jika ia sengaja membunuh anaknya yaitu dengan cara
menidurkannya lalu menyembelihnya adapun jika ayah tersebut melempar anak nya
dengan senjata yang dengan tindakannya
anak tersebut tidak sampai meninggal maka ayahnya wajib membayar diyat yang berat.
Jumhur ulama’
berkata : seorang ayah tidak boleh dibunuh lantaran membunuh anaknya, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam : “Seorang ayah
tidak boleh dibunuh oleh anaknya.”
Pendapat yang kuat
yaitu menurut jumhur ulama’ dengan dalil dari nash hadist
لَا
يُقْتَلُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ
Fakhrul Isalam Asy-syaasy berkata : “Sesungguhnya seorang ayah itu
menjadi sebab adanya anak, maka bagaimana jadinya sebab adanya sesuatu itu
tidak ada?”
Hukum ketiga : Apakah
sekelompok jama’ah boleh dibunuh oleh satu orang?
Para ulama’ berbeda pendapat tentang jama’ah apakah jika mereka berserikat untuk membunuh seseorang,
kemudian jamaah tersebut harus dibunuh
karena tindakannya tersebut?
Madzhab dzohiri berpendapat dan riwayat dari Imam Ahmad : Sungguh
sekelompok jama’ah tidak boleh dibunuh oleh seseorang.
Ahlu dzohiry berdalih dengan menggunakan ayat yang berkaitan dengan
qishash “Diwajibkan atas kalian (melaksanakan) qishash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh” maka didalamnya mengandung syarat yaitu
kesamaan dan semisal, dan tidaklah sama antara satu orang dengan sekelompok
jamaah.
Madzhab Jumhur dan A’imah Al-arba’ah berpendapat : Sungguh
sekelompok jama’ah dibolehkannya dibunuh oleh seseorang. Mereka berdalih :
Pertama : Diriwayatkan bahwa Umar Radhiyallahu
anhu membunuh tujuh pemuda karena mereka telah membunuh seseorang penduduk
Shan’a.
Kedua : Diriwayatkan dari Rasulullah beliau bersabda : “Seandainya
penduduk langit dan bumi itu berserikat untuk menumpahkan darah seorang mukmin,
sungguh maka Allah akan menelungkupkan mereka ke dalam neraka”.
Hukum Keempat, Bagaimanakah
dibunuhnya seorang penjahat ketika qishas?
Para ulama’ berbeda pendapat :
Pendapat pertama, Imam Malik dan Syafi’i berpendapat
: dari jalur periwayatan Imam Ahmad, bahwa qishas dilaksanakan sesuai sifat
yang dilakukan oleh si pembunuh, maka
barangsiapa yang membunuh dengan cara menenggelamkan seseorang, maka ia
diqishas dengan cara ditenggelamkan pula. Mereka berhujjah dengan ayat [كُتِبَ عَلَيْكُمُ
القصاص]yang mana di dalamnya
diwajibkan qishas dengan tindakan
semisal.
Pendapat kedua, Imam Abu Hanifah dan Ahmad
berpendapat dalam riwayat yang lain : bahwa pembunuhan qishash tidak
dilaksanakan kecuali dengan pedang, karena
qishas menuntut pembunuhnya mati sesuai orang yang dibunuh (tidak
berlebihan), mereka berdalil dengan
hadist “tidak ada qishash kecuali dengan pedang” , dan hadist “larangan
membunuh dengan memutilasi”, dan hadist “jika kalian membunuh maka bunuhlah
dengan cara yang ihsan.”
Jumhur berpendapat
bahwa membunuh selain meng-gunakan pedang yaitu dengan membakar, membentur- kan
dengan batu, memenjarakannya samapai mati, seringkali perbuatan tersebut
berlebihan dari yang semisal, Allah ta’ala berfirman : “Barangsiapa melampaui batas
setelah itu, maka ia akan mendapat adzab yang pedih .“
Telah diceritakan bahwa
Qasim bin Ma’an mendatangi raja bersama Syariq bin Abdullah, maka kemudian ia menanyakan beberapa hal berkaitan dengan
seseora ng apakah dibunuh ketika melempar seseorang dengan panah kemudian
seseorang tersebut terbunuh? Lalu raja tersebut menjawab : Lemparlah ia kembali
hingga ia terbunuh, kemudian ia berkata lagi : bagaimana jika ia belum mati
pada lemparan pertama? Ia menjawab : lemparlah dengan lemparan kedua, lalu ia
berkata : Apakah anda menjadikannya objek (pelampiasan)? Padahal Rasulullah
telah melarang menjadikan hewan sebagai
objek (pelampiasan).
Hukum kelima, Siapakah yang berhak mengurus dalam permasalahan qishas?
Para ulama’ fatwa telah bersepakat bahwa tidak diperbolehkan
seseorang meng-qishash saudaranya tanpa adanya seorang raja, dan tidak
diperkenankan seseorang meng-qishash yang satu dengan yang lainnya
karena itu semua kehendak seorang
raja, atau seseorang dari nasab kerajaan, maka dari itu Alah menjadikan seorang raja itu untuk
memberikan keputusan diantara manusia
satu dengan lainnya.
BAB III
PENUTUPAN
Hukuman qihsash merupakan hukuman
pokok yang dikenakan pada pelaku jarimah qishash yakni pembunuhan sengaja dan
penganiayaan sengaja, hukuman qisasmenurut pakar merupakan menghilangkan jiwa pelaku,
pelukaan pada angota badan, atau penganiayaan atas diri seseorang,
hukuman-hukuman dapat diterapkan dapat dilihat dari jarimahnya masing-masing.
Kalau membunuh sipelaku dapat dibunuh, kalau melukai si pelaku dapat dilukai
sehingga hukuman qihsash dapat dikatakan hukuman seimbang atau mengikuti jejak
si pelaku jarimah.
Hukuman qishash
merupakan hukuman pokok atas jarimah qishash tetapi bukan berarti hukuman
qishash itu merupakan satu-satunya hukuman yang harus dan mutlak dilaksanakan.
Hukuman Qishash dapat diganti dengan hukuman alternatif yaitu hukuman diyat,
hal ini diterapkan bila ada permintaan dari pihak korban, baik korban sendiri
atau pun kelaurga korban. Wallahu a’lam
REFERENSI
1.
Al qur’an Al karim
2.
Rowa’iul Bayan fi Tafsiril Ayatil Ahkam, Muhammad Ali Ash-Shobuni
3.
Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri
4. Fiqh Sunnah, Sayid Sabiq
5. Al majmu Syarhul-Muhaddab, Al Imam
Abu Zakariya Muhyiddin Bin Syarf An Nawawi
6. Tafsir Al Qur’anul ‘Adhim, Al Imam
Al Hafidh Abul Fidak Isma’il Bin Katsir Al Qurasiy Al Dimsyaqi
0 komentar :
Posting Komentar