DALAM HUKUM QISHASH TERDAPAT KEMASLAHATAN KEHIDUPAN

Kamis, 08 Maret 2018

DALAM HUKUM QISHASH TERDAPAT KEMASLAHATAN KEHIDUPAN



DALAM HUKUM QISHASH TERDAPAT KEMASLAHATAN KEHIDUPAN

BAB I
PENDAHULUAN

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dari yang terkecil hingga paling besar, dari paling sederhana hingga paling rumit, bahkan dari manusia bagun tidur sampai tidur lagi. Salah satunya di dalam Islam kita harus berhukum dengan hukum yang telah ditetapkan Islam.
            Hukuman adalah sebuah cara untuk menjadikan seorang yang melakukan pelanggaran berhenti dan tidak lagi mengulanginya. Selain itu juga menjadi pelajaran kepada orang lain untuk tidak mencoba-coba melakukan pelanggaran itu. Setiap agama maupun negara pasti memiliki bentuk hukum dan jenis hukuman tersendiri. Dan masing-masing bisa berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan. Dan salah satu bentuk hukuman yang diperintahkan oleh Allah yang harus dilaksanakan oleh ummat Islam adalah hukum qishash. Hukum ini pada esensinya memberikan hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas kepada yang merugikannya dengan kadar yang seimbang.
Pemberlakuan hukuman qishash adalah sesuatu yang selalu mengundang kontroversi. Terutama jika dianggap bahwa hukum qishash itu sama dengan hukuman mati. Perdebatan panjang mengenai pemberlakuan pidana mati ini sebenarnya bertitik tolak pada permasalahan keadilan rasa kemanusiaan dan pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya kejahatan lagi. Alasan para pakar yang menentang adanya penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan adalah karena alasan kemanusiaan dan penjatuhan pidana mati tidak akan dapat mencegah kejahatan dan mengurangi angka kejahatan. Namun bagi mereka yang sepakat dengan pemberlakuan pidana mati di Indonesia adalah semata-mata karena rasa keadilan dan ketentraman yang ada di dalam masyarakat. Masyaraakat menginginkan keadilan, dimana bagi seorang pembunuh sepantasnnya di bunuh pula. Ini terbukti dengan adanya statmen di kalangan masyarakat yang mengatakan ‘Hutang budi dibayar budi dan hutang nyawa dibayar nyawa‘.



Hanif Alfarisi




BAB II
PEMBAHASAN

يآئَيُّهَاالَّذِيْنَ أمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ القِصَاصُ فِي الْقَتْلي الحُرُّ بِالحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَي بِاللأُنْثَي فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِاءِحْسَانٍ ذَالِكَ تَخْفِيْفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدي بَعْدَ ذَالِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيْمٌ {178}
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.(Al-Baqarah:178)

A.    Makna Ayat
كتب               : Al Faro berkata : كتب عليكم arti di dalam al qur’an adalah                               diwajibkan bagi kalian.
Umar bin Abi robi’ah berkata : كتب عليكم القصاص yang artinya telah diwajibkan dan telah di tetapkan.
القصاص         :  Melakukan seperti apa yang talah di perbuat pelaku
القتلي             : Jama’ dari  قتيل ( yang di bunuh ) laki laki maupun prempuan.  
عفي              :  al ‘afwaa artinya adalah ashofhu ( pemaafan ), dan pengguguran,                           yaitu saya telah memaafkan. Seperti firman Allah subhanahu                              wa ta’aala ( al maidah : 95 ) Allah talah memaafkan yang telah lalu.
فاتباع بالمعروف    : Mengikuti dengan baik, yaitu wali dari fulan yang di bunuh meminta                    dengan baik, meminta pembunuh untuk membayar diyat dengan cara                      yang baik, tanpa ada keburukan dalam pelaksanaanya ( diyat ) .
فمن اعتدي     : Yaitu kedzoliman yang dilakukan oleh wali yang di bunuh setelah                                    mengambil diyat kemudian ia membunuh yang membunuh maka sang                    wali akan mendapatkan adzab disisi Allah yang sangat pedih (Ibnu                            Abbas, Mujahid, ‘Atho’, Ikrimah, Hasan, Qotadah, Robie’ bin Anas)


B.     Makna Global
Allah memerintahkan kepada kita untuk diwajibkan atas kalian untuk qishash bagi siapa yang membunuh dengan sengaja, dengan catatan jangan berlebihan diantara sebagian dari kalian, maka apabila yang dibunuh orang yang merdeka maka membalasnya kepada orang yang merdeka, dan jika budak maka dengan budak, jika wanita maka dengan wanita, dengan adil dalam melakukan qishash dan tinggalkanlah kedzoliman yaitu membunuh budak dibalas dengan orang merdeka, laki dengan wanita, dan barang siapa yang meninggalkan qishash maka menuju ke diyat, dan hendaknya wali dari yang di bunuh memaafkan pembunuh dan mengambil atau meminta diyat dengan cara yang baik tanpa dengan cara yang kasar, dan pembunuh juga hendaknya memberikan diyat yang telah di tentukan dengan cara yang baik pula tanpa manunda nunda dalam pembayaran diyat, itulah yang telah Allah subhanahu wa ta’aala syari’atkan kepada kita orang orang yang beriman, memaafkan dan mengambil diyat, itulah keringanan dan kasih sayang yang Allah berikan kepada hambanya di bandingkan dengan kaum yahudi, maka barang siapa yang telah memilih diyat akantapi ia malah membunuh seorang pembunuh tersebut, maka ia akan mendapatkan adzab yang sangat pedih di sisi Allah azza wa jalla, karena telah melanggar perjanjian yang telah di disepakati antara wali dengan pembunuh yang telah di berikan keamanan setelah mendapatkan diyat dari pembunuh.
            Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa qishash ialah akibat yang sama yang dikenakan pada seseorang yang menghilangkan nyawa atau melukai atau menghilangkan anggota badan orang lain seperti apa yang telah diperbuatnya. Maka dapat dikatakan bahwa hukuman qishash itu ada dua macam yatiu qishash jiwa yakni hukuman bunuh untuk tingkat pembunuhan dan hukuman qishash untuk anggota badan yakni khusus untuk anggota badan yang terpotong atau dilukai.
Maka dapat dikatakan bahwa hukuman qishash itu adalah hukuman yang menseimbangkan antara perbuatan dan pembelaan sehingga dapat menjamin keselamatan jiwa dan kesempurnaan anggota badan manusia, ini menunjukkann bahwa hukuman itu sendiri mempunyai sifat keadilan dan kesempurnaan karena telah memberi keseimbangan pada setiap pelaku, bila membunuh ia dibunuh, bila melukai maka juga dilukai, sehingga semua orang merasa puas dengan ketentuan qishash tersebut.



C.    Asbabun Nuzul
Mengenai Asbabun nuzul ayat ini, menurut imam abu Muhammad ibnu Abu Hatim disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai’ah, telah menceritakan kepadaku Ata’ ibnu Dinar, dari Sa’id ibnu Jubair, sehubungan dengan ayat  :
يآئَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي اْلقَتْلَي
“Hai orang orang yang beriman, di wajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang orang yang di bunuh”
Yakni jika kasus pembunuhan terjadi dengan sengaja, maka ketentuan hukumannya adalah orang merdeka dengan orang merdeka. Demikian itu karena ada dua kabilah dari kalangan orang orang arab saling berperang pada zaman jahiliyah yang mendekati zaman islam dalam jangka yang tidak begitu lama.
Dahulu diantara mereka terajadi pembunuhan, yang terbunuh termasuk budak budak dan kaum wanita. Maka sebagian mereka belum sempat menuntut sebagian yang lain hingga mereka masuk islam semuanya.
Mereka bersumpah bahwa mereka tidak rela sebelum orang merdeka dari kalangan musuhnya dibunuh karena membunuh budak dari kalangan mereka, dan seorang laki dari kalangan musuh dibunuh karena telah membunuh seorang wanita dari kalangan mereka. Maka turunlah ayat ini :
الحرُّبالحرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَي باِلْأُنْثَي
Orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita”. 
   Sebagian dari kandungan ayat ini ada yang di-mansukh dengan ayat yang menyatakan, “jiwa dengan jiwa”.
   Ali bin Abi Tholhah meriwayatkan dari ibnu abbas sehubungan dengan firman Allah subhanahu wa ta’aala:
والأنثي بالأنثي
Wanita di hukum mati karena membunuh wanita”

Firman Allah subhanahu wa ta’aala:
اْلنَفْسُ باِلنَفْسِ وَالْعَيْنَ باِلْعَيْنِ
Jiwa dibalas dengan jiwa dan mata di balas dengan mata” (Al maidah : 45).
Akan tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat dengan mereka, mereka mengatakan bahwa orang yang merdeka tidak di hukum mati karena membunuh budak, karena budak sama dengan halnya barang dagangan, sekiranya seorang budak dibunuh secara keliru atau tidak sengaja, maka tidak wajib diyat dalam kasusnya, melainkan yang wajib hanyakah membayar diyat seperti harga budak tersebut.
Demikian itu membuat mereka tidak tidak menghukum mati laki laki karena membunuh wanita.

D.    Klasifikasi Pembunuhan
Menurut mayoritas ulama Pembunuhan terbagi tiga :
Pertama, pembunuhan dengan sengaja (qotlul ‘amdi), Yang dimaksud pembunuhan Sengaja ialah seorang mukallaf secara sengaja membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak bersalah), dengan menggunakan senjata yang lazimnya bisa membunuh.
Kedua, pembunuhan semi sengaja, Adapun yang dimakasud syibhul ’amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah pemukulan secara semena-mena dan tanpa alasan yang benar dengan menggunakan alat yang secara umum tidak mematikan, misalnya tongkat kecil dan cambuk, namun ternyata manyebabkan kematian korban padahal si pelaku tidak bermaksud membunuhnya, melainkan hanya memberi pelajaran dan sejenisnya.
Ketiga, pembunuhan karena keliru (qotlul khoto’), Sedangkan yang dimaksud pembunuhan karena keliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.
Namun Mazhab Hanafi membagi pembunuhan menjadi 5 yaitu : qotlul ‘amdi (pembunuhan sengaja), syibhul ‘amdi (seperti sengaja), khotho’ (keliru atau tidak sengaja), ma ajro majri al-khotho’ (seperti pembunuhan keliru), dan tasabbub (tidak langsung namun menjadi penyebab). Sedangkan menurut Mazhab Maliki pembunuhan hanya ada dua; amdi dan khotho’.

Kadar Diyat
        Jika penerima diyat adalah orang merdeka yang  muslim, maka diyatnya adalah sebagai berikut :
      100 unta
      Atau 1.000 emas
      Atau 12.000 dirham perak
      Atau 200 sapi
      Atau 2.000 kambing

            Jika pembunuhannya adalah semi sengaja maka diyatnya diperberat dengan 100 unta dan 40 ekor diantaranya harus unta yang mengandung,dan jika pembunuhannya ndak sengaja maka tidak diperberat
            Berdasarkan sabda Rasulullah : “Ketahuilah, sungguh pembunuhan semi sengaja dengan cambuk, tongkat dan batu, maka diyatnya diperberat yaitu 100 unta dan 40 ekor (mengandung)”.
            Jika pembunuhannya dengan sengaja, maka besarnya diyat ditentukan dengan kerelaan keluarga korban, maka mereka berhak meminta diyat lebih banyak dari  jumlah (yang ditentukan syara’), karena mereka mempunyai hak meminta qishas  dan mereka juga berhak meminta diyat  kurang dari jumlah tersebut.

Syarat Kewajiban Qisas
Secara umum, wali (keluarga) korban berhak menuntut qishash, apabila telah syarat-syarat berikut ini telah terpenuhi:
Pertama, Jinayat (kejahatan)nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijma’ para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah, “Para ulama ber-ijma’ bahwa qishash tidak wajib, kecuali pada pembunuhan yang disengaja, dan tidaklah diketahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam kewajibannya (sebagai hukuman pada) pembunuhan dengan sengaja, apabila terpenuhi syarat-syaratnya.”
 Kedua, Korban termasuk orang yang terlindungi darahnya (‘ishmat al-maqtul) dan bukan orang yang dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan pezina yang telah menikah. Hal ini karena qihsahs disyariatkan untuk menjaga dan melindungi jiwa.
Ketiga, Pembunuh atau pelaku kejahatan adalah seseorang yang mukalaf, yaitu berakal dan baligh. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Tidak ada silang pendapat di antara para ulama bahwa tidak ada qishash terhadap anak kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab uzur, seperti tidur dan pingsan.”
Keempat, At-takafu’ (kesetaraan) antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi tindak kejahatan dalam sisi agama, merdeka, dan budak. Sehingga, seorang muslim tidak di-qishash dengan sebab membunuh orang kafir, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
Tidaklah seorang muslim dibunuh (di-qisas) dengan sebab membunuh orang kafir.”

Kelima, Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan), dengan ketentuan korban yang dibunuh adalah anak pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يُقْتَلُ الوَالِدُ بِوَلَدِهِ
Orangtua tidak di qishash dengan sebab (membunuh) anaknya.”

Syekh As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan syarat diwajibkannya qishash menyatakan, “Pembunuh bukan orangtua korban, karena orangtua tidak dibunuh dengan sebab membunuh anaknya”. Sedangkan bila anak membunuh orangtuanya, maka si anak tetap terkena keumuman  kewajiban qishash.

Syarat Pelaksanaan Qisas
Apabila syarat-syarat kewajiban qishash terpenuhi seluruhnya, maka syarat-syarat pelaksanaannya masih perlu dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah:

Pertama, semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qishash adalah mukalaf. Apabila yang berhak menuntut qihsash atau sebagiannya adalah anak kecil atau gila, maka hak penuntutan qishash tidak bisa diwakilkan oleh walinya, sebab pada qishash terdapat tujuan memuaskan (keluarga korban) dan pembalasan. Dengan demikian, pelaksanaan qishash wajib ditangguhkan, dengan memenjarakan pelaku pembunuhan hingga anak kecil tersebut menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar.
Hal ini dilakukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memenjarakan Hudbah bin Khasyram dalam qishash, hingga anak korban menjadi baligh. Hal in dilakukan di zaman para sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya, sehingga seakan-akan menjadi ijma’ di masa beliau.
Apabila anak kecil atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali orang gila saja yang boleh memberi pengampunan qishash dengan meminta diyat, karena orang gila tidak jelas kapan sembuhnya, berbeda dengan anak kecil.
Kedua, kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qishash dalam pelaksanaannya. Apabila sebagian mereka walaupun hanya seorang- memaafkan si pembunuh dari qisash, maka gugurlah qisash tersebut.

Ketiga,  aman dalam pelaksanaannya dari melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَلاَ يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً
Dan barangsiapa yang dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (Qs. al-Isra`: 33).

Apabila qihsash menyebabkan sikap melampaui batas, maka hal tersebut terlarang, sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila wanita hamil akan di-qishash, maka ia tidaklah di-qishash hingga ia melahirkan anaknya, karena membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan menyebabkan kematian janinnya. Padahal janin tersebut belum berdosa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.” (Qs. al-An’am: 164).

E.     Hal-Hal Yang Menggugurkan Qishash
Pertama, Kematian pelaku pembunuhan
Jika pelaku pembunuhan meninggal sebelum diqishas, maka gugurlah qishas atas dirinya. Baik kematian itu dengan sendirinya maupun dibunuh dengan alasan yang dibenarkan, misalnya hukum had. Akan tetapi dia masih berkewajiban membayar diyat yang diambilkan dari harta peninggalannya. Namun jika pelaku dibunuh secara sengaja dan semena-mena, maka gugurlah hukum qishash dan kewajiban membayar diyat. sementara qishash dikenakan kepada pelaku. kedua, dan hak qishas tetap dipegang oleh wali korban pertama.
Kedua, Pemberian maaf ahli waris (wali) korban.    
Jika ahli waris (wali) korban memaafkan si pembunuh, maka, berdasarkan kesepakatan para ulama, gugurlah hukum qishash. Karena ahli waris mempunyai dua hak atas orang yang membunuh saudaranya yaitu diyat atau qishash. Sebagaimana sabda Rasulullah :  “Barang siapa yang angota keluarganya menjadi korban pembunuhan, maka ia memiliki dua pilihan : diyat atau qishash.” [HR. Bukhari dan Muslim:1355]
            Inilah perbedaan syariat yang berlaku pada kaum muslimin dengan Bani Israil. Ibnu Abbas menceritakan : Qishash diwajibkan atas bani israil, namun tidak berlaku ketentuan diyat (denda). Oleh karena itu Allah menurunkan ayat : “Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya” (maaf berarti menerima diyat dalam kasus pembunuhan dengan sengaja) hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.” Ia harus mengikuti cara yang baik dan melakukan pembayaran diyat dengan cara yang baik pula. “Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat” dari ketetapan yang berlaku pada umat sebelum kalian. “Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah : 178). Dalam artian ia membunuh si pelaku pembunuhan setelah menerima diyat yang dibayarkan. [HR. Al-Bukhari 4498]
Jika wali korban lebih dari satu. Sebagian wali korban menuntut qishash sedangkan yang lainnya memaafkan maka gugurlah hukum qishash dan pembunuh hanya diwajibkan membayar diyat.

Ketiga, Perdamaian atas qishash
Para ahli fiqih sepakat atas bolehnya kesepakatan damai antara pelaku pembunuhan dengan ahli waris (wali) korban. Kemudian si pelaku membayar kompensasi yang telah disepakati oleh keduanya. Dan itu tidak dibebankan atas Aqilah (keluarga pelaku), melainkan atas pelaku sendiri. Besar kompensasi tergantung kesepakatan antara wali korban dan si pelaku. Boleh dibayar kontan atau berangsur. Karena perdamaian berstatus ganti rugi. 
F.     Yang Berhak Menuntut Qishash
Orang yang berhak menuntut qishash adalah semua ahli waris, baik dari ashabah atau ashhabul furudh, baik laki-laki maupun perempuan. Ini pendapat madzhab Hanafi, Syafi’i dan juga Hambali. Sedangkan menurut madzhab Maliki yang berhak terhadap qishash adalah ahli waris dari ashabah yang laki-laki saja. Maka anak, saudara perempuan, istri dan suami tidak berhak dalam qishash.

G.    Hukum-Hukum yang terkait dengan Qishas

Hukum pertama : apakah orang yang merdeka boleh dibunuh oleh hamba sahaya, dan muslim dibunuh oleh kafir dzimmi?
Hanafiyah berpendapat : bahwa orang yang merdeka boleh dibunuh oleh hamba sahaya, begitupun dengan seorang muslim boleh dibunuh oleh seorang kafir dzimmi.
Jumhur ulama’ berpendapat : bahwa orang yang merdeka tidak boleh dibunuh oleh hamba sahaya, begitupun orng muslim tidak boleh dibunuh oleh orang kafir dzimmi.
Pendapat yang paling kuat insya allah menu-rut jumhur ulama’, terlebih lagi pendapat  tersebut dikuatkan dengan sabda nabi Shala-llahu ‘alaihi wasallam : “seorang muslim tidak diperbolehkan dibunuh oleh seorang kafir.” (HR. Bukhori)
Hukum kedua : apakah seorang ayah dibunuh lantaran membunuh anaknya?
            Imam Malik berkata : dibunuhnya (seorang Ayah) jika ia sengaja membunuh anaknya yaitu dengan cara menidurkannya lalu menyembelihnya adapun jika ayah tersebut melempar anak nya dengan senjata yang  dengan tindakannya anak tersebut tidak sampai meninggal maka ayahnya wajib membayar diyat  yang berat.
            Jumhur ulama’ berkata : seorang ayah tidak boleh dibunuh lantaran membunuh anaknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam : “Seorang ayah tidak boleh dibunuh oleh anaknya.”
            Pendapat yang kuat yaitu menurut jumhur ulama’ dengan dalil dari nash hadist
    لَا يُقْتَلُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ
Fakhrul Isalam Asy-syaasy berkata : “Sesungguhnya seorang ayah itu menjadi sebab adanya anak, maka bagaimana jadinya sebab adanya sesuatu itu tidak ada?”

Hukum ketiga : Apakah sekelompok jama’ah boleh dibunuh oleh satu orang?
            Para ulama’ berbeda pendapat tentang jama’ah apakah jika  mereka berserikat untuk membunuh seseorang, kemudian  jamaah tersebut harus dibunuh karena tindakannya tersebut?
Madzhab dzohiri berpendapat dan riwayat dari Imam Ahmad : Sungguh sekelompok jama’ah tidak boleh dibunuh oleh seseorang.
Ahlu dzohiry berdalih dengan menggunakan ayat yang berkaitan dengan qishash “Diwajibkan atas kalian (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” maka didalamnya mengandung syarat yaitu kesamaan dan semisal, dan tidaklah sama antara satu orang dengan sekelompok jamaah.
Madzhab Jumhur dan A’imah Al-arba’ah berpendapat : Sungguh sekelompok jama’ah dibolehkannya dibunuh oleh seseorang. Mereka berdalih :
     Pertama : Diriwayatkan bahwa Umar Radhiyallahu anhu membunuh tujuh pemuda karena mereka telah membunuh seseorang penduduk Shan’a.
     Kedua : Diriwayatkan dari Rasulullah beliau bersabda : “Seandainya penduduk langit dan bumi itu berserikat untuk menumpahkan darah seorang mukmin, sungguh maka Allah akan menelungkupkan mereka ke dalam neraka”.
Hukum Keempat, Bagaimanakah dibunuhnya seorang penjahat ketika qishas?
Para ulama’ berbeda pendapat :
     Pendapat pertama, Imam Malik dan Syafi’i berpendapat : dari jalur periwayatan Imam Ahmad, bahwa qishas dilaksanakan sesuai sifat yang   dilakukan oleh si pembunuh, maka barangsiapa yang membunuh dengan cara menenggelamkan seseorang, maka ia diqishas dengan cara ditenggelamkan pula. Mereka berhujjah dengan  ayat   [كُتِبَ عَلَيْكُمُ  القصاص]yang mana di dalamnya diwajibkan   qishas dengan tindakan semisal.
     Pendapat kedua, Imam Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat dalam riwayat yang lain : bahwa pembunuhan qishash tidak dilaksanakan kecuali dengan pedang, karena  qishas menuntut pembunuhnya mati sesuai orang yang dibunuh (tidak berlebihan), mereka berdalil  dengan hadist “tidak ada qishash kecuali dengan pedang” , dan hadist “larangan membunuh dengan memutilasi”, dan hadist “jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan cara yang ihsan.”
      Jumhur berpendapat bahwa membunuh selain meng-gunakan pedang yaitu dengan membakar, membentur- kan dengan batu, memenjarakannya samapai mati, seringkali perbuatan tersebut berlebihan dari yang semisal, Allah ta’ala berfirman : “Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat adzab yang pedih .“  
      Telah diceritakan bahwa Qasim bin Ma’an mendatangi raja bersama Syariq bin Abdullah, maka kemudian  ia menanyakan beberapa hal berkaitan dengan seseora ng apakah dibunuh ketika melempar seseorang dengan panah kemudian seseorang tersebut terbunuh? Lalu raja tersebut menjawab : Lemparlah ia kembali hingga ia terbunuh, kemudian ia berkata lagi : bagaimana jika ia belum mati pada lemparan pertama? Ia menjawab : lemparlah dengan lemparan kedua, lalu ia berkata : Apakah anda menjadikannya objek (pelampiasan)? Padahal Rasulullah telah melarang menjadikan hewan  sebagai objek (pelampiasan).   
Hukum kelima, Siapakah yang berhak mengurus dalam permasalahan qishas?
Para ulama’ fatwa telah bersepakat bahwa tidak diperbolehkan seseorang meng-qishash saudaranya tanpa adanya seorang raja, dan tidak diperkenankan seseorang meng-qishash yang satu dengan yang lainnya karena itu semua    kehendak seorang raja, atau seseorang dari nasab kerajaan, maka dari itu  Alah menjadikan seorang raja itu untuk memberikan keputusan diantara   manusia satu dengan lainnya.






BAB III
PENUTUPAN

Hukuman qihsash merupakan hukuman pokok yang dikenakan pada pelaku jarimah qishash yakni pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja, hukuman qisasmenurut pakar merupakan menghilangkan jiwa pelaku, pelukaan pada angota badan, atau penganiayaan atas diri seseorang, hukuman-hukuman dapat diterapkan dapat dilihat dari jarimahnya masing-masing. Kalau membunuh sipelaku dapat dibunuh, kalau melukai si pelaku dapat dilukai sehingga hukuman qihsash dapat dikatakan hukuman seimbang atau mengikuti jejak si pelaku jarimah.
            Hukuman qishash merupakan hukuman pokok atas jarimah qishash tetapi bukan berarti hukuman qishash itu merupakan satu-satunya hukuman yang harus dan mutlak dilaksanakan. Hukuman Qishash dapat diganti dengan hukuman alternatif yaitu hukuman diyat, hal ini diterapkan bila ada permintaan dari pihak korban, baik korban sendiri atau pun kelaurga korban. Wallahu a’lam


















REFERENSI
1.      Al qur’an Al karim
2.      Rowa’iul Bayan fi Tafsiril Ayatil Ahkam, Muhammad Ali Ash-Shobuni
3.      Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri
4.      Fiqh Sunnah, Sayid Sabiq
5.      Al majmu Syarhul-Muhaddab, Al Imam Abu Zakariya Muhyiddin Bin Syarf An Nawawi
6.      Tafsir Al Qur’anul ‘Adhim, Al Imam Al Hafidh Abul Fidak Isma’il Bin Katsir Al Qurasiy Al Dimsyaqi



0 komentar :

Posting Komentar