Tafsir Perintah Menghadap Kiblat dalam Sholat

Sabtu, 03 Maret 2018

Tafsir Perintah Menghadap Kiblat dalam Sholat



[Enter Post Title Here]




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Polemik arah kiblat seolah tidak ada selesainya. Umat islam Indonesia diliputi rasa takut dan ambigu, takut karena shalat yang tidak diterima karena tidak menghadap kiblat yakni Ka’bah dan dibuat ambigu karena ketidaktahuan masyarakat akan arah kiblat yang benar sebab jarak yang cukup jauh antara Indonesia dan Mekkah.
Beberapa kali proses kalibrasi diadakan namun sewaktu waktu kiblat juga agak bergeser seiring dengan bergesrnya lempengan bumi. MUI pusat pernah berkomentar tentang kejadian ini mereka menyarankan agar umat muslim Indonesia tidak mengubah arah kiblat mereka, karena hal itu hanya akan menyusahkan mereka.
Sekalipun sudah di kalibrasi, orang yang shalat tidak akan lepas dari faktor kesalahan dan penyimpangan. Meskipun hanya 1o atau 2o derajat. Sementara jarak Indonesia dengan Mekah, lebih dari 7900 km. Hanya dengan menyimpang 1 derajat, anda telah menyimpang sejauh 544 km.
Maka bagaimana sebaiknya kita mensikapi polemik ini? Maka insyaallah dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan perbedaan tersebut, dan bagaimana sebenarnya kita harus bersikap. Sehingga semoga mampu memberikan pencerahan kepada kita semua sehingga kita mampu menentukan pilihan kita berdasar nash-nash Al Qur’an dan sunnah sesuai dengan penjelasan para ulama.

B.     Rumusan Masalah
1. Ayat Perintah menghadap Kiblat dalam Sholat
2. Asbabun Nuzul
3. Makna kata Masjidil Haram dalam ayat
4. Menghadap kiblat bagi yang jauh dari Ka’bah
5. Hukum sholat di atas Ka’bah
6. Arah pandangan dalam Shalat


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Ayat Perintah menghadap Kiblat dalam Sholat

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (142) وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (143) قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (144) وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ (145) Al Baqarah 142-145

Artinya : ( 142 )   Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".
( 143 )   Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
( 144 )   Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
( 145 )   Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu - kalau begitu - termasuk golongan orang-orang yang zalim.



2.      Asbabun Nuzul  (Sebab turunnya ayat)
Ø  Hadist yang diriwayatkan dari Barra’ bin Azib Bahwa sesungguhnya rasulullah saw. Pernah shalat menghadap ke arah baitul maqdis dan ia sering menengadah ke langit menanti keputusan dari Allah SWT, kemudian turunlah ayat “sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit” (QS.2:144). Lalu berkatalah beberapa orang dari kaum muslimin: alangkah senangnya kalau seandainya kita mengetahui tanda orang yang telah meninggal di antar kita sebelum dipindahkannya kiblat, dan bagaimana gerangan shalat kami yang menghadap ke arah baitul maqdis? Kemudian turunlah ayat “dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan imanmu[1].
Ø  Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari al-Barra’ bin ‘Azib bahwa Nabi SAW ketika pertama kali sampai di Madinah, beliau mendatangi keluarga ibunya dari kaum Anshar. Beliau juga melaksanakan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan. Sementara beliau sendiri berharap agar kiblatnya ke arah Baitullah (Ka’bah). Shalat pertama yang dilaksanakan oleh beliau (dengan menghadap Ka’bah) adalah shalat Ashar. Ada sejumlah orang yang shalat bersamanya.
Lalu salah seorang lelaki yang telah shalat bersamanya melewati orang-orang yang sedang shalat di masjid yang sedang melakukan rukuk. Lelaki itu kemudian berkata, “Saya bersaksi kepada Allah bahwa saya telah melaksanakan shalat bersama Nabi ke arah Mekkah.”
Maka merekapun berputar dalam keadaan itu ke arah Ka’bah. Sementara terdapat sejumlah orang yang telah meninggal sebelum kiblat berpindah ke arah Baitullah dan kami tidak tahu keadaan mereka. Maka Allah pun menurunkan ayat: “; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian[2].

3.      Makna kata Masjidil Haram dalam ayat
Potongan ayat yang saya maksud adalah (فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ) yang artinya “Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram”. Permasalahan inilah yang menjadikan polemik perbedaan itu terjadi, seperti yang telah saya sebutkan fenomena kalibrasi  arah kiblat bersumber dari perbedan para Ulama dalam tafsir ayat ini.
Setidaknya ada 4 pendapat berkaikan dengan makna Masjidil Haram tersebut[3] :
Ø  Pendapat Pertama : Ka’bah
Mereka berpendapat dengan berhujjah pada surat Al Baqarah 144 (فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام)  Mereka yang memaknai kata (شَطْرَ) berarti arah dan (الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ) berarti Ka’bah[4].

Ø  Pendapat  Kedua : Masjidil Haram
Sebagaimana pendapat Ibnu Abbas[5]. Adapun dalil yang mereka  pergunakan
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku (Masjid An Nabawi) lebih baik dari pada shalat 1000 rekaat di masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram[6]

Ø  Pendapat ketiga : Makkah Al Mukarramah
Dengan dalil
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ [الإسراء: 1]
            “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Ø  Pendapat keempat : Wilayah Tanah Suci
Dengan dalil
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً
فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ [التوبة: 28]
           
" Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”


Tarjih :
Adapun makna Masjidil Haram yang rajih menurut Syaikh Muhammad Ali As Shobuni adalah Ka’bah, sebagaimana pendapat Imam Al Qurthubi[7]


4.      Menghadap kiblat bagi yang jauh dari Ka’bah
Menghadap kiblat dalam sholat merupakan salah satu syarat sah sholat, tidak sah sholat tanpa menghadap kiblat, kecuali ketika sholat khouf, atau ketika sholat sunnah dalam safar maka dibolehkan baginya untuk menghadap selain kearah kiblat.
Tidak ada perbedaan diantara para ulama berkaitan dengan wajibnya menghadap kiblat dalam shalat. Perbedaan itu terjadi antara kewajiban menghadap ain Ka’bah atau cukup menghadap kearahnya.
Jika diperinci lagi maka seluruh Ulama bersepakat dan tidak ada perbedaan akan kewajiban menghadap ain Ka’bah bagi yang mampu melihatnya secara langsung. Mereka berbeda pendapat bagi mukallaf yang tidak mampu melihat Ka’bah secara langsung.
Para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam hal ini[8] :
Ø  Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
Mereka berpendapat wajib menghadap ain Ka’bah ketika shalat, baik ketika Ka’bah dalam pandangan ataupun ketika Ka’bah tidak terlihat.
Dalil:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام
“Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram”   (Al Baqarah 144)


Ø  Ulama Malikiyah dan Hanafiayah
Mereka berpendapat wajib menghadap ke arah Ka’bah, dan tidak harus tepat ain Ka’bah.
Dalil :
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام
“Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram”   (Al Baqarah 144)

Mereka tidak memaknai kata Masjidil Haram sebagai Ka’bah. mereka berpendapat bahwa menghadap sekitar masjidil Haram bagi yang jauh darinya telah cukup. Sama hukumnya dengan menghadap ain Ka’bah.

البيت قبلة لأهل المسجد, والمسجد قبلة لأهل الحرم, والحرم قبلة لأهل الأرض في مشارقها ومغاربها من أمتي
“Ka’bah merupakan kiblat bagi penghuni masjid, Masjidil haram merupakan kiblat bagi penghuni tanah haram (Mekkah), dan Mekkah merupakan  kiblat bagi seluruh penduduk bumi, disisi timur dan barat dari umatku[9]

Tarjih :
Menurut Imam Qurthubi dalam tafsirnya, beliau menukil perkataan Ibnul ‘Arabi. Beliau berkata tentang pendapat wajibnya menghadap ain Ka’bah. “Ini  merupakan pendapat lemah. Karena di sana ada unsur taklif (membebani) untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan.”
Kemudian beliau berpendapat bahwa dengan menganggap menghadap ke arah ka’bah itulah yang wajib, dengan 3 pertimbangan :
Ø  Itulah yang mungkin dibebankan oleh hamba
Ø  Itulah yang diperintahkan oleh al Qur’an (Al Baqarah 144)
Ø  Para ulama berhujah dengan shaf shalat yang lebarnya terkadang lebih luas dari luas Ka’bah[10]



5.      Hukum shalat diatas Ka’bah
Ø  Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak sah shalat diatas Ka’bah. karena di atas Ka’bah tidak menghadap Ka’bah melainkan menghadap sesuatu yang lain. Sedangkan salah satu syarat sah shalat adalah menghadap kiblat.
Ø  Hanafiyah berpendapat memakruhkan shalat diatas Ka’bah karena merupakan akhlak yang buruk. Namun tetap sah jika sholat didirikan di atas ka’bah, karena madzhab Abu Hanifah berpendapat bahwa kiblat itu dari ujung bumi hingga ujung langit.[11]
Sedangkan dalam bukunya  Wahbah Az Zuhaili disebutkan
Ø  Ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan shalat sunnah di atas Ka’bah, dan tidak dengan shalat fardhu,
Ø  Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah membolehkan sholat di atas Ka’bah secara mutlaq baik shalat fardhu maupun shalat sunnah[12].

6.      Arah pandangan dalam shalat
Ø  Malikiyah berpendapat bahwa seorang yang shalat maka harus melihat kehadapanya.
Ø  Jumhur berpendapat bahwa disunnahkan untuk melihat ke tempat sujud ketika shalat. Syarik Al Qadhi berkata memandang ke arah sujud ketika berdiri, ke punggung kaki ketika ruku’, ke hidung ketika sujud, ke pangkuannya ketika duduk[13]
Tarjih :
Yang benar menurut penulis adalah pendapat Jumhur Ulama. Karena orang yang sholat memandang ke tempat sujud tidak mengeluarkanya dari menghadap Ka’bah. Semua itu bertujuan agar orang yang shalat tidak terganggu konsentrasinya dan menjadikan hati lebih khusu’ ketika sholat. Wallahu A’lam.







BAB III    
PENUTUP

      Demikianlah makalah ini penulis paparkan semoga mampu menjadi pencerahan dan menjadi hal yang bermanfaat bagi kita semua hingga memudahkan datangnya hidayah pada diri kita. Atas segala kekurangan dan kesalahan dalam tulisan yang pembaca dapati, maka kami mohon maaf dan kepada Allah kami mohon ampun. Jazzakumullah khoiron jaza.

           






[1] Tafsir Ibnu Katsir 1/453
[2] ibid
[3] Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam 1/123
[4] Tafsir Al Qurthubi 2/159
[5] ibid
[6] HR. Ahmad
[7] Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam 1/124
[8] ibid
[9] HR. Baihaqi
[10] Tafsir Al Qurthubi 2/160
[11] Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam 1/128
[12] Al Fiqh Al Islam wa Adillatuha 2/983
[13] Tafsir Al Qurthubi 2/160

0 komentar :

Posting Komentar