Tafsir Perintah Menghadap Kiblat dalam Sholat
[Enter Post Title
Here]
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Polemik arah kiblat seolah tidak ada
selesainya. Umat islam Indonesia diliputi rasa takut dan ambigu, takut karena
shalat yang tidak diterima karena tidak menghadap kiblat yakni Ka’bah dan
dibuat ambigu karena ketidaktahuan masyarakat akan arah kiblat yang benar sebab
jarak yang cukup jauh antara Indonesia dan Mekkah.
Beberapa kali proses kalibrasi diadakan
namun sewaktu waktu kiblat juga agak bergeser seiring dengan bergesrnya
lempengan bumi. MUI pusat pernah berkomentar tentang kejadian ini mereka
menyarankan agar umat muslim Indonesia tidak mengubah arah kiblat mereka,
karena hal itu hanya akan menyusahkan mereka.
Sekalipun sudah di kalibrasi, orang yang
shalat tidak akan lepas dari faktor kesalahan dan penyimpangan. Meskipun hanya
1o atau 2o derajat. Sementara jarak Indonesia dengan
Mekah, lebih dari 7900 km. Hanya dengan menyimpang 1 derajat, anda telah
menyimpang sejauh 544 km.
Maka bagaimana sebaiknya kita mensikapi
polemik ini? Maka insyaallah dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan perbedaan
tersebut, dan bagaimana sebenarnya kita harus bersikap. Sehingga semoga mampu
memberikan pencerahan kepada kita semua sehingga kita mampu menentukan pilihan
kita berdasar nash-nash Al Qur’an dan sunnah sesuai dengan penjelasan para
ulama.
B.
Rumusan Masalah
1. Ayat
Perintah menghadap Kiblat dalam Sholat
2. Asbabun
Nuzul
3. Makna kata
Masjidil Haram dalam ayat
4. Menghadap kiblat bagi yang jauh dari
Ka’bah
5. Hukum sholat di atas Ka’bah
6. Arah pandangan dalam Shalat
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ayat Perintah menghadap Kiblat dalam Sholat
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي
كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (142) وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ
الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ
عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
(143) قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ
رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (144) وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ
قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ
مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ (145) Al Baqarah 142-145
Artinya : ( 142 )
Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata:
"Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul
Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah:
"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa
yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".
( 143 ) Dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul
dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.
( 144 ) Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana
saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui,
bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
( 145 ) Dan sesungguhnya jika
kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab
(Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti
kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian
merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya
jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya
kamu - kalau begitu - termasuk golongan orang-orang yang zalim.
2. Asbabun Nuzul (Sebab turunnya ayat)
Ø Hadist yang diriwayatkan dari Barra’ bin
Azib Bahwa sesungguhnya rasulullah saw. Pernah shalat menghadap ke arah baitul
maqdis dan ia sering menengadah ke langit menanti keputusan dari Allah SWT,
kemudian turunlah ayat “sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit” (QS.2:144). Lalu berkatalah beberapa orang dari kaum muslimin: alangkah
senangnya kalau seandainya kita mengetahui tanda orang yang telah meninggal di
antar kita sebelum dipindahkannya kiblat, dan bagaimana gerangan shalat kami
yang menghadap ke arah baitul maqdis? Kemudian turunlah ayat “dan tidaklah
Allah akan menyia-nyiakan imanmu[1].
Ø Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
al-Barra’ bin ‘Azib bahwa Nabi SAW ketika pertama kali sampai di Madinah,
beliau mendatangi keluarga ibunya dari kaum Anshar. Beliau juga melaksanakan
shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan. Sementara
beliau sendiri berharap agar kiblatnya ke arah Baitullah (Ka’bah). Shalat
pertama yang dilaksanakan oleh beliau (dengan menghadap Ka’bah) adalah shalat Ashar.
Ada sejumlah orang yang shalat bersamanya.
Lalu salah seorang lelaki yang telah shalat
bersamanya melewati orang-orang yang sedang shalat di masjid yang sedang
melakukan rukuk. Lelaki itu kemudian berkata, “Saya bersaksi kepada Allah bahwa
saya telah melaksanakan shalat bersama Nabi ke arah Mekkah.”
Maka merekapun berputar dalam keadaan itu
ke arah Ka’bah. Sementara terdapat sejumlah orang yang telah meninggal sebelum
kiblat berpindah ke arah Baitullah dan kami tidak tahu keadaan mereka. Maka
Allah pun menurunkan ayat: “; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman
kalian[2].”
3. Makna kata Masjidil Haram dalam ayat
Potongan ayat
yang saya maksud adalah (فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ) yang artinya “Maka
palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram”. Permasalahan inilah yang
menjadikan polemik perbedaan itu terjadi, seperti yang telah saya sebutkan
fenomena kalibrasi arah kiblat bersumber
dari perbedan para Ulama dalam tafsir ayat ini.
Setidaknya ada 4 pendapat berkaikan dengan
makna Masjidil Haram tersebut[3]
:
Ø Pendapat Pertama : Ka’bah
Mereka berpendapat dengan berhujjah pada
surat Al Baqarah 144 (فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَام) Mereka yang memaknai
kata (شَطْرَ) berarti arah dan (الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ) berarti Ka’bah[4].
Ø Pendapat Kedua : Masjidil Haram
Sebagaimana pendapat Ibnu Abbas[5].
Adapun dalil yang mereka pergunakan
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَ
الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku (Masjid An
Nabawi) lebih baik dari pada shalat 1000 rekaat di masjid lainnya, kecuali
Masjidil Haram[6]”
Ø Pendapat ketiga : Makkah Al Mukarramah
Dengan dalil
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ [الإسراء: 1]
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Ø Pendapat keempat : Wilayah Tanah Suci
Dengan dalil
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا
الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً
فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
حَكِيمٌ [التوبة: 28]
" Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini. Dan
jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan
kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Tarjih :
Adapun makna Masjidil Haram yang rajih menurut Syaikh Muhammad Ali As
Shobuni adalah Ka’bah, sebagaimana pendapat Imam Al Qurthubi[7]
4. Menghadap kiblat bagi yang jauh dari Ka’bah
Menghadap kiblat dalam sholat merupakan
salah satu syarat sah sholat, tidak sah sholat tanpa menghadap kiblat, kecuali
ketika sholat khouf, atau ketika sholat sunnah dalam safar maka dibolehkan
baginya untuk menghadap selain kearah kiblat.
Tidak ada perbedaan diantara para ulama
berkaitan dengan wajibnya menghadap kiblat dalam shalat. Perbedaan itu terjadi
antara kewajiban menghadap ain Ka’bah atau cukup menghadap kearahnya.
Jika diperinci lagi maka seluruh Ulama
bersepakat dan tidak ada perbedaan akan kewajiban menghadap ain Ka’bah bagi
yang mampu melihatnya secara langsung. Mereka berbeda pendapat bagi mukallaf
yang tidak mampu melihat Ka’bah secara langsung.
Para ulama terbagi menjadi dua kelompok
dalam hal ini[8]
:
Ø Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
Mereka berpendapat wajib menghadap ain Ka’bah ketika shalat, baik ketika
Ka’bah dalam pandangan ataupun ketika Ka’bah tidak terlihat.
Dalil:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَام
“Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram” (Al
Baqarah 144)
Ø Ulama Malikiyah dan Hanafiayah
Mereka berpendapat wajib menghadap ke arah Ka’bah, dan tidak harus tepat
ain Ka’bah.
Dalil :
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَام
“Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram” (Al
Baqarah 144)
Mereka tidak memaknai kata Masjidil Haram sebagai Ka’bah. mereka berpendapat
bahwa menghadap sekitar masjidil Haram bagi yang jauh darinya telah cukup. Sama
hukumnya dengan menghadap ain Ka’bah.
البيت قبلة لأهل المسجد, والمسجد قبلة لأهل الحرم, والحرم قبلة لأهل الأرض
في مشارقها ومغاربها من أمتي
“Ka’bah merupakan kiblat bagi penghuni masjid, Masjidil haram
merupakan kiblat bagi penghuni tanah haram (Mekkah), dan Mekkah merupakan kiblat bagi seluruh penduduk bumi, disisi
timur dan barat dari umatku[9]”
Tarjih :
Menurut Imam Qurthubi dalam tafsirnya,
beliau menukil perkataan Ibnul ‘Arabi. Beliau berkata tentang pendapat wajibnya
menghadap ain Ka’bah. “Ini merupakan pendapat
lemah. Karena di sana ada unsur taklif (membebani) untuk melakukan sesuatu yang
tidak mungkin diwujudkan.”
Kemudian beliau berpendapat bahwa dengan
menganggap menghadap ke arah ka’bah itulah yang wajib, dengan 3 pertimbangan :
Ø Itulah yang mungkin dibebankan oleh hamba
Ø Itulah yang diperintahkan oleh al Qur’an (Al Baqarah 144)
Ø Para ulama berhujah dengan shaf shalat yang lebarnya terkadang lebih
luas dari luas Ka’bah[10]
5. Hukum shalat diatas Ka’bah
Ø Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak sah shalat diatas Ka’bah.
karena di atas Ka’bah tidak menghadap Ka’bah melainkan menghadap sesuatu yang
lain. Sedangkan salah satu syarat sah shalat adalah menghadap kiblat.
Ø Hanafiyah berpendapat memakruhkan shalat diatas Ka’bah karena merupakan
akhlak yang buruk. Namun tetap sah jika sholat didirikan di atas ka’bah, karena
madzhab Abu Hanifah berpendapat bahwa kiblat itu dari ujung bumi hingga ujung
langit.[11]
Sedangkan dalam bukunya Wahbah Az Zuhaili disebutkan
Ø Ulama Malikiyah dan Hanabilah membolehkan shalat sunnah di atas Ka’bah,
dan tidak dengan shalat fardhu,
Ø Ulama Hanafiyah dan Syafiiyah membolehkan sholat di atas Ka’bah secara
mutlaq baik shalat fardhu maupun shalat sunnah[12].
6. Arah pandangan dalam shalat
Ø Malikiyah berpendapat bahwa seorang yang shalat maka harus melihat
kehadapanya.
Ø Jumhur berpendapat bahwa disunnahkan untuk melihat ke tempat sujud
ketika shalat. Syarik Al Qadhi berkata memandang ke arah sujud ketika berdiri,
ke punggung kaki ketika ruku’, ke hidung ketika sujud, ke pangkuannya ketika
duduk[13]”
Tarjih :
Yang benar
menurut penulis adalah pendapat Jumhur Ulama. Karena orang yang sholat
memandang ke tempat sujud tidak mengeluarkanya dari menghadap Ka’bah. Semua itu
bertujuan agar orang yang shalat tidak terganggu konsentrasinya dan menjadikan
hati lebih khusu’ ketika sholat. Wallahu A’lam.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah makalah ini
penulis paparkan semoga mampu menjadi pencerahan dan menjadi hal yang
bermanfaat bagi kita semua hingga memudahkan datangnya hidayah pada diri kita.
Atas segala kekurangan dan kesalahan dalam tulisan yang pembaca dapati, maka
kami mohon maaf dan kepada Allah kami mohon ampun. Jazzakumullah khoiron jaza.
0 komentar :
Posting Komentar