Kunci Kebahagian

Rabu, 21 Februari 2018

Kunci Kebahagian


KUNCI KEBAHAGIAAN
Oleh : Abdullah Ar-Rasyid*

JAS MERAH, sebuah slogan  yang sering di elu-elukan para sejarawan guna
mengingatkan  kita  akan  pentingnya  mengerti  sebuah  sejarah.  Karena  hanya  dengan
memahami sejarah, sebuah generasi muda mampu mengambil pelajaran dari peristiwa
yang pernah dialami para pendahulunya. Tentunya kita masih ingat sebuah peristiwa
besar yang menimpa sebuah negara kecil di Asia Timur puluhan tahun silam. Tanggal
6 dan 9 Agustus merupakan tanggal kesedihan bagi Rakyat Jepang. Karena pada pada
tanggal itulah dua kota besar Hirosima dan Nagasaki diluluh-lantakkan oleh Pasukan
Sekutu pada tahun 1945 silam.
Hebatnya, Rakyat Jepang mampu menjadikan kesedihan dan penderitaan yang
dialami  menjadi  motivasi  raksasa  untuk  merubah  keadaan.  Selang  lima  tahun,
perekonomian  Jepang  sudah  mulai  meningkat.  Pada  tahun  1950  produk  manufaktur
Jepang  sudah  menembus  pasar  Internasional  dan  mulai  menggeser  posisi  produk
manufaktur Amerika dan negara-negara Eropa.

Pertumbuhan  ekonomi  dari  tahun  1960-an  hingga  1980-an  sering  disebut
sebagai  “Keajaiban  Ekonomi  Jepang”,  karena  rata-rata  perekonomian  Jepang
meningkat  10% pada tahun 1960-an, 5% pada tahun 1970-an, dan 4% pada tahun 1980-an. Dekade 1980-an merupakan masa keemasan ekspor otomotif dan barang elektronik
ke Eropa dan Amerika Serikat.
Kini  sejarah  pedih  hanya  tinggal  kenangan,  Jepang  telah  menjelma  menjadi
salah  satu  dari  tiga  negara  dunia  dengan  ekonomi  terbesar  serta  termaju  didunia.
Berdasarkan  survei  banyak  lembaga  internasional,  ekonomi  Jepang  adalah  ekonomi
terbesar  kedua  di  Asia  (Dibawah  RRC)  dan  ketiga  di  dunia  (Selain  AS  dan  RRC).
Bahkan pada tahun 2017 kemarin angka pendapatan per kapita Rakyat Jepang sudah
mencapai 38,633 U$ Dolar. Jika di kurskan ke rupiah jumlahnya lebih dari 500 juta. Itu
berarti  rata-rata  perbulan  setiap  Warga  Jepang  memiliki  penghasilan  lebih  dari
Rp.41.500.000.  Jika  dilihat  dari  tingginya  pendapatan  perkapitanya,  maka  bisa
disimpulkan  bahwa  kehidupan  Rakyat  Jepang  sangat  makmur  dan  jauh  dari
kekurangan.
Namun dibalik kemakmuran dan kesejahteraan ini tampak sebuah kejanggalan
yang sangat bertolak belakang dengan kondisi mereka, yaitu tingginya angka bunuh
diri di negara itu.  Kementerian Kesehatan Jepang,  Kamis (23/3/2017) mengungkap,
pada tahun 2016 lalu tercatat angka kematian akibat bunuh diri mencapai 21.897 orang.
Berarti setiap harinya ada sekitar 60 Warga Jepang yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri.
Fakta  ini  sangat  tidak  masuk  akal  jika  hanya  dilihat  dengan  kacamata  dunia
yang hanya melihat dari sudut pandang materi saja. Karena biasanya banyaknya kasus
bunuh  diri  disebabkan  oleh  himpitan  ekonomi.  Sedangkan  tingkat  perekonomian
Masyarakat  Jepang  melambung  jauh  di  atas  rata-rata.  Maka  janggalnya  fakta  ini
membuat  kebanyakan  pengamatnya  menjadi  kebingungan.  Tentunya  ada  faktor  lain
yang menyebabkan mudahnya Warga Jepang mengakhiri hidupnya.  Yang faktor itu
hanya bisa dilihat dengan menggunakan sudut pandang dari sisi yang lainnya.

Kunci Kebahagiaan
Mayoritas  manusia  menganggap  bahwa  kunci  kebahagiaan  itu  terletak  pada
tingginya tingkat perekonomian seseorang yang berefek pada tingkat kemakmurannya.
Padahal sejatinya itu bukanlah faktor terpenting, karena keinginan manusia tidak ada
habisnya. Buktinya masih banyak pejabat negara yang korupsi. Apakah gaji mereka
tidak  bisa  mencukupi  kebutuhan  kehidupan  mereka  ataukan  sifat  rakus  yang
mendorongnya melakukan perbuatan korupsi?
Ada satu faktor  yang  yang menjadi inti kebahagiaan  yang sering terlupakan,
yaitu  spiritual.  Jika  dilihat  dari  faktor  ini  maka  terjawablah  permasalahan  Negara
Jepang. Masyarakat Jepang mungkin memiliki kecukupan materi, kebutuhan jasmani
mereka  terpenuhi  namun  ruhani  mereka  kosong.  Karena  Negara  Jepang  memang
dikenal dengan negara yang tidak memiliki agama resmi yang pasti.
Sebagai seorang muslim kami meyakini di dalam Agama Islam ada dua pilar
utama  yang  menjadi  kunci  kebahagian  bagi  seorang  muslim.  Siapapun  yang  bisa
memiliki  dua  pilar  ini  pasti  akan  mampu  menghadapai  semua  permasalahan  yang
mendatanginya.

Sabar
Hidup tanpa ujian bagaikan sayur tanpa garam. Itulah ungkapan yang pas untuk
menggambarkan samudra kehidupan yang tak akan pernah lepas dari gelombang ujian.
Maka dari itu Agama Islam mengajarkan seuah bekal untuk menghadapi semua ujian
yang datang. Sabar merupakan senjata pamungkas yang dimiliki setelah semua usaha
dilakukan.  Kesabaran  terhadap  nafsunya  akan  mampu  mendorong  seorang  muslim
untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan kesabaran terhadap
musibah akan membendungnya dari fikiran dangkal seperti mengakhiri kehidupan.

Syukur
Yang perlu kita sadari berikutnya adalah, ujian tidak selalunya datang dalam
bentuk musibah namun terkadang juga datang dalam wujud kenikmatan. Betapa banyak
orang  yang  mampu  bersabar  dari  setiap  musibah  tetapi  justru  hancur  karena
kenikmatan.  Seseorang  yang  memiliki  banyak  harta  justru  berpeluang  besar  untuk
merusak  diri  dan  lingkungan.  Maraknya  penggunaan  narkotika,  larisnya  miras,
ramainya tempat-tempat hiburan malam merupakan imbas dari sedikitnya orang yang
mampu  mensyukuri  kekayaan  yang  dimilikinya.  Sehingga  menggunakan  hartanya
kepada hal yang salah.
Maka  Agama  Islam  adalah  salah  satu  agama  yang  mengajarkan  dan
menanamkan  sifat  syukur  kepada  pemeluknya.  Juga  telah  menyediakan  berbagai
macam  fasilitas  seperti  perintah  membayar  zakat,  shodaqoh  dan  infaq  untuk
menampung harta kaum muslimin sehingga tidak salah dalam penggunaannya.

Maka kami berkeyakinan siapapun yang mampu bersabar dari setiap musibah
yang datang, dan mampu mensyukuri setiap kenikmatan yang diperoleh, dialah orang
yang paling bahagia di atas muka bumi. Karena tidak ada satupun permasalahan dari
siklus kehidupan yang keluar dari dua hal ini. Entah musibah atau kenikmatan

*Mahasiswa Mahad Aly Ta'hil Mudarrisin, Dasusy Syahadah

0 komentar :

Posting Komentar