Kunci Kebahagian
KUNCI KEBAHAGIAAN
Oleh : Abdullah Ar-Rasyid*
JAS MERAH, sebuah slogan yang sering di elu-elukan para sejarawan guna
mengingatkan kita akan pentingnya mengerti sebuah sejarah. Karena hanya dengan
memahami sejarah, sebuah generasi muda mampu mengambil pelajaran dari peristiwa
yang pernah dialami para pendahulunya. Tentunya kita masih ingat sebuah peristiwa
besar yang menimpa sebuah negara kecil di Asia Timur puluhan tahun silam. Tanggal
6 dan 9 Agustus merupakan tanggal kesedihan bagi Rakyat Jepang. Karena pada pada
tanggal itulah dua kota besar Hirosima dan Nagasaki diluluh-lantakkan oleh Pasukan
Sekutu pada tahun 1945 silam.
Hebatnya, Rakyat Jepang mampu menjadikan kesedihan dan penderitaan yang
dialami menjadi motivasi raksasa untuk merubah keadaan. Selang lima tahun,
perekonomian Jepang sudah mulai meningkat. Pada tahun 1950 produk manufaktur
Jepang sudah menembus pasar Internasional dan mulai menggeser posisi produk
manufaktur Amerika dan negara-negara Eropa.
Pertumbuhan ekonomi dari tahun 1960-an hingga 1980-an sering disebut
sebagai “Keajaiban Ekonomi Jepang”, karena rata-rata perekonomian Jepang
meningkat 10% pada tahun 1960-an, 5% pada tahun 1970-an, dan 4% pada tahun 1980-an. Dekade 1980-an merupakan masa keemasan ekspor otomotif dan barang elektronik
ke Eropa dan Amerika Serikat.
Kini sejarah pedih hanya tinggal kenangan, Jepang telah menjelma menjadi
salah satu dari tiga negara dunia dengan ekonomi terbesar serta termaju didunia.
Berdasarkan survei banyak lembaga internasional, ekonomi Jepang adalah ekonomi
terbesar kedua di Asia (Dibawah RRC) dan ketiga di dunia (Selain AS dan RRC).
Bahkan pada tahun 2017 kemarin angka pendapatan per kapita Rakyat Jepang sudah
mencapai 38,633 U$ Dolar. Jika di kurskan ke rupiah jumlahnya lebih dari 500 juta. Itu
berarti rata-rata perbulan setiap Warga Jepang memiliki penghasilan lebih dari
Rp.41.500.000. Jika dilihat dari tingginya pendapatan perkapitanya, maka bisa
disimpulkan bahwa kehidupan Rakyat Jepang sangat makmur dan jauh dari
kekurangan.
Namun dibalik kemakmuran dan kesejahteraan ini tampak sebuah kejanggalan
yang sangat bertolak belakang dengan kondisi mereka, yaitu tingginya angka bunuh
diri di negara itu. Kementerian Kesehatan Jepang, Kamis (23/3/2017) mengungkap,
pada tahun 2016 lalu tercatat angka kematian akibat bunuh diri mencapai 21.897 orang.
Berarti setiap harinya ada sekitar 60 Warga Jepang yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri.
Fakta ini sangat tidak masuk akal jika hanya dilihat dengan kacamata dunia
yang hanya melihat dari sudut pandang materi saja. Karena biasanya banyaknya kasus
bunuh diri disebabkan oleh himpitan ekonomi. Sedangkan tingkat perekonomian
Masyarakat Jepang melambung jauh di atas rata-rata. Maka janggalnya fakta ini
membuat kebanyakan pengamatnya menjadi kebingungan. Tentunya ada faktor lain
yang menyebabkan mudahnya Warga Jepang mengakhiri hidupnya. Yang faktor itu
hanya bisa dilihat dengan menggunakan sudut pandang dari sisi yang lainnya.
Kunci Kebahagiaan
Mayoritas manusia menganggap bahwa kunci kebahagiaan itu terletak pada
tingginya tingkat perekonomian seseorang yang berefek pada tingkat kemakmurannya.
Padahal sejatinya itu bukanlah faktor terpenting, karena keinginan manusia tidak ada
habisnya. Buktinya masih banyak pejabat negara yang korupsi. Apakah gaji mereka
tidak bisa mencukupi kebutuhan kehidupan mereka ataukan sifat rakus yang
mendorongnya melakukan perbuatan korupsi?
Ada satu faktor yang yang menjadi inti kebahagiaan yang sering terlupakan,
yaitu spiritual. Jika dilihat dari faktor ini maka terjawablah permasalahan Negara
Jepang. Masyarakat Jepang mungkin memiliki kecukupan materi, kebutuhan jasmani
mereka terpenuhi namun ruhani mereka kosong. Karena Negara Jepang memang
dikenal dengan negara yang tidak memiliki agama resmi yang pasti.
Sebagai seorang muslim kami meyakini di dalam Agama Islam ada dua pilar
utama yang menjadi kunci kebahagian bagi seorang muslim. Siapapun yang bisa
memiliki dua pilar ini pasti akan mampu menghadapai semua permasalahan yang
mendatanginya.
Sabar
Hidup tanpa ujian bagaikan sayur tanpa garam. Itulah ungkapan yang pas untuk
menggambarkan samudra kehidupan yang tak akan pernah lepas dari gelombang ujian.
Maka dari itu Agama Islam mengajarkan seuah bekal untuk menghadapi semua ujian
yang datang. Sabar merupakan senjata pamungkas yang dimiliki setelah semua usaha
dilakukan. Kesabaran terhadap nafsunya akan mampu mendorong seorang muslim
untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan kesabaran terhadap
musibah akan membendungnya dari fikiran dangkal seperti mengakhiri kehidupan.
Syukur
Yang perlu kita sadari berikutnya adalah, ujian tidak selalunya datang dalam
bentuk musibah namun terkadang juga datang dalam wujud kenikmatan. Betapa banyak
orang yang mampu bersabar dari setiap musibah tetapi justru hancur karena
kenikmatan. Seseorang yang memiliki banyak harta justru berpeluang besar untuk
merusak diri dan lingkungan. Maraknya penggunaan narkotika, larisnya miras,
ramainya tempat-tempat hiburan malam merupakan imbas dari sedikitnya orang yang
mampu mensyukuri kekayaan yang dimilikinya. Sehingga menggunakan hartanya
kepada hal yang salah.
Maka Agama Islam adalah salah satu agama yang mengajarkan dan
menanamkan sifat syukur kepada pemeluknya. Juga telah menyediakan berbagai
macam fasilitas seperti perintah membayar zakat, shodaqoh dan infaq untuk
menampung harta kaum muslimin sehingga tidak salah dalam penggunaannya.
Maka kami berkeyakinan siapapun yang mampu bersabar dari setiap musibah
yang datang, dan mampu mensyukuri setiap kenikmatan yang diperoleh, dialah orang
yang paling bahagia di atas muka bumi. Karena tidak ada satupun permasalahan dari
siklus kehidupan yang keluar dari dua hal ini. Entah musibah atau kenikmatan
*Mahasiswa Mahad Aly Ta'hil Mudarrisin, Dasusy Syahadah
0 komentar :
Posting Komentar