Peran Ulama dalam Kemerdekaan

Kamis, 22 Februari 2018

Peran Ulama dalam Kemerdekaan



MENGULAS KEMBALI PERANAN ULAMA DALAM
MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA
Oleh : Hanif Alfarisi*


            Sejarah mencatat, goresan tinta ulama memiliki andil signifikan dalam meraih
kemerdekaan. Bahkan, perjuangan mengusir penjajah, sering kali memadukan goresan
tinta ulama. Penjajahan bukan soal politik dan ekonomi saja, tetapi juga masalah iman.
Sebab, penjajah membawa misi “gospel”, yakni menyebarkan agama mereka dan
merusak keagamaan penduduk muslim. Karena itu, sepanjang sejarah perjuangan
merebut dan mempertahankan kemerdekaan, peranan para ulama Islam sangat
menonjol.
Senin (5/6) malam, Panglima TNI Gatot Nurmantyo kembali menyampaikan
apresiasinya kepada para kiai dan ulama yang telah berjuang merebut kemerdekaan
Indonesia. Hal ini disampaikan dalam amanatnya yang dibacakan Kasum (Kepala Staf
Umum) TNI Didit Herdiawan di hadapan 10 ribu Santri Pondok Modern Darussalam
Gontor, Kabupaten Ponorogo, JawaTimur,
Pada akhir pesannya Panglima menegaskan, santri dan ulama mempunyai peran
yang sangat penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, bersama
komponen bangsa lainnya, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat hingga
saat ini. “Rakyat, ulama, dan santri merupakan cikal bakal dan kekuatan hakiki TNI
yang sekaligus menjadi identitas atau jati diri TNI. Setelah Indonesia merdeka, laskarlaskar dari para ulama dan santri tersebut berhimpun menjadi Tentara Keamanan
Rakyat atau yang saat ini disebut Tentara Nasional Indonesia,” ujar Panglima TNI.


SejarahYangTerlupakan
            Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII, (2005), Azyumardi Azra mengungkap sebuah contoh perjuangan para
ulama dalam melawan penjajah. Sebutlah contoh Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-
1629M). Ulama terkenal ini bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan,
tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah. Tahun 1683, setelah tertangkapnya
Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf Maqassari memimpin sekitar 4.000 pasukan di
hampir seluruh wilayah Jawa Barat. Menurut satu versi, Syekh Yusuf berhasil
ditangkap setelah komandan pasukan Belanda van Happel, berhasil menyusup ke
markas Syekh Yusuf, dengan menyamar sebagai Muslim dengan pakaian Arab. Syekh
Yusuf pun dibuang ke Srilanka dan Afrika Selatan untuk mengurangi pengaruhnya.
Tapi, justru di kedua tempat itu, Syekh Yusuf berhasil mengembangkan Islam dengan
mengajar dan menulis. Usaha Belanda untuk mengkristenkan Syekh Yusuf juga gagal.
Sarjana Evangelis Belanda, Samuel Zwemer, mengkritik Petrus Kalden, pendeta dari
Gereja Belanda Tua Cape Town, yang gagal menjadikan Syekh Yusuf sebagai pemeluk
Kristen.




JasaParaUlama
            Dalam perjuangan kemerdekaan, peran ulama tak dapat diabaikan. Setidaknya
ada tiga yang akan saya paparkan jasa utama yang telah diberikan para ulama untuk
perjuangan kemerdekaan.
Pertama, menyadarkan rakyat akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
penjajah. Di berbagai pesantren, madrasah, ceramah, organisasi, dan pertemuan
lainnya, para ulama menanamkan kesadaran di hati rakyat akan ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan penjajah tersebut.
Pengaruh para ulama diakui oleh penjajah. Thomas S. Raffles, Letnan Gubernur
EIC yang memerintah pada 1811-1816 di Indonesia berkata, "Karena mereka begitu
dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut rakyat agar memberontak,
dan mereka menjadi alat paling berbahaya di tangan penguasa pribumi yang menentang
kepentingan pemerintah kolonial. 'Pendeta Islam' itu ternyata merupakan golongan
yang paling aktif dalam setiap peristiwa pemberontakan. Mereka umumnya berdarah
campuran antara orang Arab dan penduduk pribumi, dalam jumlah besar berkeliling
dari negara satu ke negara lain, di pulau-pulau Timur. Akibat hasutan mereka,
pemimpin pribumi biasanya dikerahkan untuk menyerang atau membunuh orang
Eropa, yang mereka anggap sebagai kafir dan pengacau."
Kedua, mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini
sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat perlawanan. Perang
melawan penjajah dianggap jihad fi sabîlillah, yakni perang suci atau perang sabil demi
agama. Perang suci ini muncul di Aceh paling awal abad ke-17, dibangkitkan oleh para
guru agama pada masa krisis, yang terparah pada akhir abad ke-19. Salah satu guru
agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu Muhammad, mengatakan dalam
Tadhkirat ar-Rakidin (1889), bahwa Aceh merupakan Daar Islam, kecuali daerah yang
diperintah Belanda dan menjadi Daar al-Harb.
Ketiga, menyerukan persatuan membela kemerdekaan RI yang diproklamasikan
Soekarno-Hatta. Para ulama yang dipimpin Kiai Hasyim Asy’ari memfatwakan
kewajiban mempertahankan kemerdekaan RI. Dan pada 1954, sebuah Musyawarah
Ulama Indonesia (NU) di Cipanas mengambil keputusan bahwa Presiden Soekarno
adalah Waliyyul Amri Dharuri bisy-Syaukah, artinya pemegang pemerintahan yang
punya cukup kewibawaan dipatuhi oleh pejabat dan rakyat
Dengan jasa ulama yang sedemikian, ternyata masih relatif sedikit para ulama
yang mendapat gelar pahlawan atau tertulis dalam sejarah kemerdekaan. Padahal tanpa
jasa para ulama sebagai pemimpin agama dan masyarakat, mustahil perjuangan
kemerdekaan akan dapat dibangkitkan dan didukung luas oleh rakyat.
Maka, sudah sepatutnya perjuangan para ulama lebih dihargai dengan penulisan
ulang sejarah dan penganugerahan bintang kepahlawanan. Baik ulama yang sudah
terkenal, maupun yang belum terkenal, sama-sama berhak dihargai jasa
kepahlawanannya bagi bangsa dan negara. Sebagaimana kata Bung Karno, “Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.”




*Mahasiswa Ma’had Ta’hil Mudarrisin, Darusy Syahadah

0 komentar :

Posting Komentar