Peran Ulama dalam Kemerdekaan
MENGULAS KEMBALI PERANAN
ULAMA DALAM
MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA
Oleh : Hanif Alfarisi*
Sejarah mencatat, goresan tinta ulama memiliki andil signifikan
dalam meraih
kemerdekaan. Bahkan, perjuangan mengusir
penjajah, sering kali memadukan goresan
tinta ulama. Penjajahan bukan soal politik dan
ekonomi saja, tetapi juga masalah iman.
Sebab, penjajah membawa misi “gospel”, yakni
menyebarkan agama mereka dan
merusak keagamaan penduduk muslim. Karena itu,
sepanjang sejarah perjuangan
merebut dan mempertahankan kemerdekaan, peranan
para ulama Islam sangat
menonjol.
Senin (5/6) malam, Panglima TNI Gatot Nurmantyo
kembali menyampaikan
apresiasinya kepada para kiai dan ulama yang
telah berjuang merebut kemerdekaan
Indonesia. Hal ini disampaikan dalam amanatnya
yang dibacakan Kasum (Kepala Staf
Umum) TNI Didit Herdiawan di hadapan 10 ribu
Santri Pondok Modern Darussalam
Gontor, Kabupaten Ponorogo, JawaTimur,
Pada akhir pesannya Panglima menegaskan, santri
dan ulama mempunyai peran
yang sangat penting dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, bersama
komponen bangsa lainnya, sehingga Indonesia
menjadi bangsa yang berdaulat hingga
saat ini. “Rakyat, ulama, dan santri merupakan
cikal bakal dan kekuatan hakiki TNI
yang sekaligus menjadi identitas atau jati diri
TNI. Setelah Indonesia merdeka, laskarlaskar dari para ulama dan santri
tersebut berhimpun menjadi Tentara Keamanan
Rakyat atau yang saat ini disebut Tentara
Nasional Indonesia,” ujar Panglima TNI.
SejarahYangTerlupakan
Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII, (2005), Azyumardi Azra mengungkap sebuah contoh perjuangan
para
ulama dalam melawan penjajah. Sebutlah contoh
Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-
1629M). Ulama terkenal ini bukan hanya mengajar
dan menulis kitab-kitab keagamaan,
tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah.
Tahun 1683, setelah tertangkapnya
Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf Maqassari
memimpin sekitar 4.000 pasukan di
hampir seluruh wilayah Jawa Barat. Menurut satu
versi, Syekh Yusuf berhasil
ditangkap setelah komandan pasukan Belanda van
Happel, berhasil menyusup ke
markas Syekh Yusuf, dengan menyamar sebagai
Muslim dengan pakaian Arab. Syekh
Yusuf pun dibuang ke Srilanka dan Afrika
Selatan untuk mengurangi pengaruhnya.
Tapi, justru di kedua tempat itu, Syekh Yusuf
berhasil mengembangkan Islam dengan
mengajar dan menulis. Usaha Belanda untuk
mengkristenkan Syekh Yusuf juga gagal.
Sarjana Evangelis Belanda, Samuel Zwemer,
mengkritik Petrus Kalden, pendeta dari
Gereja Belanda Tua Cape Town, yang gagal
menjadikan Syekh Yusuf sebagai pemeluk
Kristen.
JasaParaUlama
Dalam perjuangan kemerdekaan, peran ulama tak dapat diabaikan.
Setidaknya
ada tiga yang akan saya paparkan jasa utama
yang telah diberikan para ulama untuk
perjuangan kemerdekaan.
Pertama, menyadarkan rakyat
akan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan
penjajah. Di berbagai pesantren, madrasah,
ceramah, organisasi, dan pertemuan
lainnya, para ulama menanamkan kesadaran di
hati rakyat akan ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan penjajah tersebut.
Pengaruh para ulama diakui oleh penjajah.
Thomas S. Raffles, Letnan Gubernur
EIC yang memerintah pada 1811-1816 di Indonesia
berkata, "Karena mereka begitu
dihormati, maka tidak sulit bagi mereka untuk
menghasut rakyat agar memberontak,
dan mereka menjadi alat paling berbahaya di
tangan penguasa pribumi yang menentang
kepentingan pemerintah kolonial. 'Pendeta
Islam' itu ternyata merupakan golongan
yang paling aktif dalam setiap peristiwa
pemberontakan. Mereka umumnya berdarah
campuran antara orang Arab dan penduduk
pribumi, dalam jumlah besar berkeliling
dari negara satu ke negara lain, di pulau-pulau
Timur. Akibat hasutan mereka,
pemimpin pribumi biasanya dikerahkan untuk
menyerang atau membunuh orang
Eropa, yang mereka anggap sebagai kafir dan
pengacau."
Kedua, mengeluarkan fatwa
wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini
sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan
semangat perlawanan. Perang
melawan penjajah dianggap jihad fi sabîlillah,
yakni perang suci atau perang sabil demi
agama. Perang suci ini muncul di Aceh paling
awal abad ke-17, dibangkitkan oleh para
guru agama pada masa krisis, yang terparah pada
akhir abad ke-19. Salah satu guru
agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu
Muhammad, mengatakan dalam
Tadhkirat ar-Rakidin (1889), bahwa Aceh
merupakan Daar Islam, kecuali daerah yang
diperintah Belanda dan menjadi Daar al-Harb.
Ketiga, menyerukan persatuan
membela kemerdekaan RI yang diproklamasikan
Soekarno-Hatta. Para ulama yang dipimpin Kiai
Hasyim Asy’ari memfatwakan
kewajiban mempertahankan kemerdekaan RI. Dan
pada 1954, sebuah Musyawarah
Ulama Indonesia (NU) di Cipanas mengambil
keputusan bahwa Presiden Soekarno
adalah Waliyyul Amri Dharuri
bisy-Syaukah, artinya pemegang
pemerintahan yang
punya cukup kewibawaan dipatuhi oleh pejabat
dan rakyat
Dengan jasa ulama yang sedemikian, ternyata
masih relatif sedikit para ulama
yang mendapat gelar pahlawan atau tertulis
dalam sejarah kemerdekaan. Padahal tanpa
jasa para ulama sebagai pemimpin agama dan
masyarakat, mustahil perjuangan
kemerdekaan akan dapat dibangkitkan dan
didukung luas oleh rakyat.
Maka, sudah sepatutnya perjuangan para ulama
lebih dihargai dengan penulisan
ulang sejarah dan penganugerahan bintang
kepahlawanan. Baik ulama yang sudah
terkenal, maupun yang belum terkenal, sama-sama
berhak dihargai jasa
kepahlawanannya bagi bangsa dan negara.
Sebagaimana kata Bung Karno, “Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa
para pahlawannya.”
*Mahasiswa Ma’had Ta’hil
Mudarrisin, Darusy Syahadah
0 komentar :
Posting Komentar